oleh

Sembako Mahal dan Ilusi Bangsa yang Kaya Raya

-Opini, dibaca 751 x

Oleh: 

Sartana, M.A.
(Dosen Psikologi Sosial Departemen Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas)
 
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya. Entah sudah berapa ratus atau ribu kali kita membaca atau mendengar ungkapan itu. Di sekolah, sejak kita belajar di sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, kata-kata itu sangat sering kita dengar. Kadang di ruang kelas, dan dalam beberapa kesempatan di amanat pembina upacara saat upacara bendera.
 
Kemudian, perihal masyarakat mengeluh harga sembako naik atau mahal juga sering kita dengar. Sama sering dan banyaknya dengan ungkapan bangsa Indonesia yang kaya. Barang-barangnya saja yang berganti. Kadang beras, kadang telur, kadang capai, kadang minyak goreng, dan yang lainnya.
 
Menyandingkan dua peristiwa yang sering kita dengar atau lihat itu kita seperti sedang melihat kontradiksi. Mungkin juga ironi. Di satu sisi kita membayangkan Indonesia adalah bangsa yang kaya sumber daya alam, namun di sisi lain, kita menemukan kenyataan kita adalah bangsa yang masih bergelut untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang dasar. Kita masih harus ribut untuk urusan perut.
 
Dan kontradiksi itu mestinya memicu kita untuk mempertanyakan ulang, benarkah bangsa kita ini adalah bangsa yang kaya? Indonesia bangsa yang kaya itu harapan kita tentang Indonesia atau ia adalah fakta tentang Indonesia? Ia sekedar persepsi atau kenyataan? Atau ia memang kenyataan, tetapi sebagai bangsa kita tidak sungguh-sungguh memiliki kedaulatan untuk mengolah kekayaan alam itu? Sehingga kita masih belum mampu memenuhi hak-hak dasar kehidupan kita.
 
Seharusnya, sebagai bangsa yang kaya, kita sudah selesai dengan hal-hal dasar itu. Mestinya harga sembako naik turun tidak menjadi persoalan bagi kita. Kita tidak lagi berkutat mengurusi masalah perut, tetapi dapat mengurusi kebutuhan-kebutuhan yang sifatnya psikis atau spiritual. Semestinya kita sudah berpikir tentang gagasan atau pengembangan pengetahuan, atau aktualisasi diri. 
 
Karena menurut Teori Hirarki Kebutuhan yang dikemukakan Abraham Maslow kebutuhan biologis, termasuk makan, itu adalah kebutuhan yang paling dasar. Tingkat kebutuhan yang paling bawah. Tidak hanya di sektor kehutanan, Indonesia juga bukan negara yang berdaulat di sektor pertambangan. Mayoritas industri tambang dikuasai oleh perusahaan asing. Kebutuhan yang lebih tinggi di atasnya secara berurutan adalah kebutuhan rasa aman, kebutuhan disayangi dan dicintai, kebutuhan dihargai, dan kebutuhan untuk aktualisasi diri.
 
Dan bangsa Indonesia, pada usia yang hampir mencapai satu abad, yang sering beri label sebagai Indonesia Emas, ternyata kita masih bergulat pada hal-hal yang sangat dasar. Capaian yang tidak cukup mampu membuat kita sebagai warga bangsa untuk merasa bangga atas apa yang sudah kita kerjakan. Karenanya, kita perlu mengevaluasi, apa yang terjadi dengan kita. Bila kita adalah bangsa yang kaya, dan kita mempersepsikan kita bangsa yang kaya juga, lalu kita menemukan kenyataan kita tidak sungguh bangsa yang kaya, mungkin ada yang salah dalam kita memahami atau membayangkan Indonesia. Atau ada yang salah dalam kita mengelola Indonesia dan harus diperbaiki.
 
Kita bisa lihat mungkin bisa melihat beberapa bangsa lain yang kaya sumber daya alam yang rakyatnya juga jarang merasa cemas soal kenaikan harga sembako. Misalnya, negara Tiongkok, Kanada, dan Amerika Serikat. Tentu, mereka memiliki problem ekonomi dan sosial, tetapi paling tidak itu tidak menjadi yang utama. Bangsa mereka dapat mengembangkan inovasi dan pengetahuan yang dapat menjadi solusi umat manusia di seluruh dunia.
 
Kalau Indonesia sungguh-sungguh bangsa yang kaya, semestinya kita dapat keluar dari belenggu krisis pemenuhan kebutuhan dasar itu. Seandainya sembako itu mahal setinggi apapun, masyarakat dapat membeli. Karena bangsa atau orang yang kaya, mestinya tidak memiliki ketergantungan pada harga. Tidak lagi peka atau sensitif terhadap isu mengenai harga. Kalau kita masih sensitif pada isu itu, kita mungkin bukan bangsa yang kaya, tetapi bangsa yang belum kaya. Orang kadang menyebutnya sebagai bangsa yang miskin, atau yang lebih tinggi sedikit adalah bangsa yang masih berkembang secara ekonomi.
 
Kesadaran kita bukan bangsa yang kaya ini mungkin lebih baik daripada kita terus memelihara ilusi bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya. Pertama, karena memang faktanya, Indonesia tidak termasuk salah satu dari sepuluh besar negara dengan sumber daya alam yang kaya di dunia. Walaupun Indonesia juga bukan bangsa yang miskin sumber daya alam. Kita memiliki kekayaan alam, tetapi ia tidak melimpah dan tanpa batas.
 
Kedua, kesadaran bahwa bangsa Indonesia bukan bangsa yang kaya ini juga menjadikan bangsa Indonesia untuk merasa terancam. Kita merasa khawatir dengan masa depan, karena alam tidak dapat menopang kehidupan kita. Dengan demikian, kita akan berusaha melakukan berbagai inovasi supaya kita dapar memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup kita tanpa bersandar pada kekayaan alam.
 
Kesadaran dan semangat ini penting karena ia dapat membangkitkan energi dan meledakkan potensi kreatif bangsa Indonesia. Kita bisa banyak lihat, banyak orang yang sukses dan memiliki capaian tinggi dalam hidup, karena mereka hidup dan besar di tengah keterbatasan secara alam. Kita bisa ambil Singapura, negara kecil dengan sumber daya alam yang sangat terbatas, tetapi dapat melenting sebagai negara yang maju. Mengapa mereka bisa demikian? Karena mereka menyadari keterbatasan alamnya, merasa terancam, sehingga mengembangkan sistem politik dan ekonomi berbasis inovasi dan pengetahuan.
 
Terakhir, kesadaran bahwa kita bukan bangsa yang kaya, di tengah alam yang luas dan juga punya potensi sumber daya alam yang cukup untuk hidup, juga memungkinkan untuk secara kritis mempertanyakan banyak hal. Mengapa sumber daya alam itu tidak dapat memakmurkan bangsa Indonesia? Siapa yang menguasai sumber daya alam Indonesia, sehingga bangsa Indonesia masih bergulat dengan kebutuhan dasar? Dan rangkaian pertanyaan kritis lainnya. Pertanyaan-pertanyaan ini lebih penting dan berguna bagi rakyat Indonesia daripada berilusi bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya raya. Keduanya dapat membangkitkan rasa cinta, pertanyaan-pertanyaan itu membangkitkan cinta yang kritis pada bangsa sementara ilusi itu akan membangkitkan cinta yang buta. Kita mau memilih yang mana?
 
Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

0 comments