oleh

Ibu Rumah Tangga, positif HIV: Menghadapi self-stigma, stigma masyarakat dan stigma Nakes?

-Opini, dibaca 864 x

Penulis:

 Yoki Arum Sari, S.Si.T., Fitria, S.Si (Mahasiswa Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya ) dan Hj. Dewi Evita Tourisia, S.Km (Staf Puskesmas Merdeka Palembang)

 
Hari HIV-AIDS diperingati dunia setiap tanggal 01 Desember sebagai “alarm”  bagi kita semua bahwa penyebaran virus HIV-AIDS masih terus berlangsung setiap tahunnya di seluruh penjuru dunia. Ketika kita mendengar istilah HIV-AIDS, tentu yang ada dalam benak kita adalah suatu penyakit yang sangat mematikan dan tidak akan ada obatnya. HIV-AIDS merupakan penyakit yang menyerang sistem kekebalan tubuh kita dan membuat penderita yang terajangkit virus ini sangat mudah terkena infeksi oportunistik. Sampai saat ini belum ada obat yang tepat untuk menyembuhkan penyakit ini, namun hal tersebut tidak menjadi kekhawatiran mengingat terdapat pengobatan yang dapat memperlambat perkembangan penyakit dan memungkinkan penderita untuk menjalani kehidupan normal seperti sebelumnya. Berbeda dengan AIDS, AIDS merupakan penyakit yang merupakan tahap akhir dari proses perkembangan penyakit HIV dimana tubuh tidak memiliki kemampuan lagi untuk melawan infeksi.
 
Perkembangan penyakit sampai di tahap AIDS biasanya dikarenakan penderita tanpa pengobatan ARV. Pada saat kita mendengar seseorang terjangkit virus ini, tentu dalam benak kita tertanam dengan gambaran seseorang dengan perilaku seksual yang menyimpang seperti lelaki suka lekaki (LSL), wanita penyuka sesama (WPS), waria, dan pekerja seks komersial (PSK). Suatu hal yang tidak mungkin terjadi apabila seorang ibu rumah tangga terjangkit penyakit ini. Namun menurut dr. Syahril selaku juru bicara Kementerian Kesehatan RI, kasus HIV baru ditemukan pada kelompok ibu rumah tangga sebesar 5.100 kasus setiap tahunnya. Hal ini tentu menjadi isu baru bagi permasalahan kesehatan di masyarakat, angka tersebut akan menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat dikarenakan sosok ibu rumah tangga merupakan sosok seperti “bidadari” di dalam rumah yang sangat tidak mungkin akan melakukan penyimpangan-penyimpangan seksual. 
 
Tingginya kasus HIV-AIDS pada ibu rumah tangga dipengaruhi karena berbagai macam faktor. Salah satunya karena rendahnya pengetahuan dan pencegahan dampak penyakit menular seksual. Salah satu faktor tercepat dalam penularan penyakit tersebut kepada ibu rumah tangga karena memiliki pasangan dengan perilaku seks berisiko. Ibu rumah tangga yang terdekteksi virus HIV berisiko tinggi menularkan virus tersebut kepada anaknya selama masa kehamilannya. 
 
Transmisi penularan dari ibu ke anak dapat terjadi sejak dalam kandungan, pada saat proses lahiran dan atau saat menyusui. Penularan HIV melalui jalur ibu ke anak menyumbang sebesar 20-45% dari sumber penularan HIV lainnya. Dampaknya yang timbul sebesar 45% bayi yang lahir dari ibu positif HIV akan lahir dengan HIV dan menyandang status sebagai ODHIV sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, Kemenkes telah melakukan upaya preventif dalam menekan tingginya kasus tersebut dengan mengadakan rapid tes yang digunakan untuk mendeteksi penularan HIV-AIDS pada saat kehamilan. Namun, menurut Kementerian Kesehatan hanya 55% ibu hamil yang di tes rapid HIV karena sebagian besar ibu hamil tidak mendapatkan izin suami untuk dilakukannya tes rapid tersebut pada saat kehamilan.
 
Seperti kisah Delima (nama samaran) yang mendapati dirinya positif HIV sejak terdiagnosis pada bulan Agustus tahun 2007. Delima merupakan salah satu ibu rumah tangga yang terinfeksi penyakit HIV. Ia mendapat virus tersebut dari pasangannya yang merupakan pecandu narkoba. Awalnya setelah mengetahui terjangkit virus mematikan ini, Delima merasa sangat putus asa dan merasa tidak ada harapan untuk hidup sehat seperti sebelumnya. Setelah mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-temannya serta informasi yang ia dapatkan, Delima bangkit dari keterpurukan dan menerima kenyatakaan bahwa pada saat itu ia terjangkit virus tersebut. Hingga akhirnya ia dan suami menerima terapi pengobatan ARV. Saat ini delima aktif sebagai wanita ODHIV di Ikatan Perempuan Positif Indonesia (PPI) di Yogyakarta. 
 
“Pertama kali tahu saya putus asa, nggak mau ngapa-apa, nggak kerja, nggak kuliah, skripsi pun sampai mundur. Baru setelah 2 tahun, setelah mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-teman, saya baru bisa menerima” ujar ibu Delima (sumber detik Health, 2012).
 
Self-Stigma : “Merasa Diri Negatif”
 
“Self-Stigma”, mendengar kata ini tentu tidak akan terlepas dari kehidupan ODHA. Orang yang terinfeksi penyakit ini cenderung memberikan stigma terhadap dirinya sendiri sejak mereka dinyatakan positif HIV bahkan tanpa sadar stigma ini terus berlangsung selama mereka mengidap virus ini. Biasanya mereka menggangap bahwa orang lain memiliki pandangan negatif terhadap diri mereka. Munculnya pandangan negatif ini sering juga di kaitkan dengan konsep diri negatif yang memberikan label negatif pada dirinya sendiri. Selain itu, seringkali mereka yang dinyatakan positif mendapatkan diskriminasi dari lingkungan sekitar yang menyebabkan konsep ini tanpa disadari. Orang yang dinyatakan positif HIV cenderung membatasi diri dari lingkungan karena mereka menyadari adanya perubahan dari diri mereka seperti perubahan fisik, emosi, dan gaya hidup. Selain itu, stigma ini muncul juga dikarenakan perasaan takut yang berlebihan dari diri mereka akan sesuatu hal buruk yang mungkin akan terjadi menimpa dia. Stigma ini tentu menambah buruk situasi yang dialami pengidap. 
 
“cuman kendalanya itu pasiennya itu galak buru-buru karna itu tadi, iya menstigma diri sendiri” ujar bu dewi salah satu Staf Puskesmas Merdeka 
 
Stigma di Masyarakat : “Perempuan Tidak Baik” 
 
Tidak hanya itu, stigma negatif yang muncul di kalangan masyarakat sudah cukup banyak menyebar dan diyakini membuat siapapun yang terjangkit penyakit tersebut mengalami tekanan psikis dan perubahan perilaku. Ini yang membuat penderita kehilangan semangat untuk bertahan dalam pengobatan ARV dan menyerah sehingga penyakit tersebut sampai di tahap akhir yaitu AIDS. Padahal, dengan pengobatan rutin ARV dan semangat dalam pengobatan yang membuat penderita mampu menjalani hidup seperti orang sehat pada umumnya. 
 
Melihat dari gejala yang timbul akibat terinfeksi HIV yang sedemikian rupa, tak heran jika masih ada anggapan di masyarakat bahwa penyakit ini sangat berbahaya dan mudah menular, selain itu ada pula anggapan lain tentang penyakit ini yang salah dan muncul mitos-mitos terkait penyakit ini sehingga orang-orang di sekitar mengucilkan penderita HIV. Akibat dari banyaknya anggapan tentang penyakit ini menyebabkan penderita seringkali tidak mau terbuka dan lebih memilih untuk merahasiakan penyakit tersebut. 
 
Stigma di Tenaga Kesehatan : “Wanita tidak bermoral”
 
Pada kalangan tenaga kesehatan, perempuan yang terjangkit HIV masih dipandang negatif. Stigma tersebut akan menurunkan kualitas hidup orang dengan HIV/AIDS, mengurangi kepatuhan terhadap pengobatan, dan mendorong perilaku berisiko. Agama, ras, lokasi tempat bekerja, dan ketersediaan profilaksis pasca pajanan adalah beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku yang menyebabkan stigma terhadap orang dengan HIV/AIDS oleh tenaga kesehatan. Studi menunjukkan bahwa berbagai jenis stigma termasuk pelabelan negatif, pemisahan barang pribadi, penghindaran, dan penolakan pengobatan pasien HIV/AIDS oleh penyedia layanan kesehatan, keluarga, dan anggota masyarakat. 
 
Pada orang dengan HIV/AIDS, stigma berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental mereka. Pada akhirnya, ini berdampak negatif pada kualitas hidup pasien. Oleh karena itu, upaya sosialisasi dan peningkatan pengetahuan tentang cara menangani stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan HIV/AIDS diperlukan. Selain itu, edukasi dan kampanye yang bertujuan untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap HIV/AIDS dan perempuan juga dapat digunakan untuk mencegah stigma dan diskriminasi terhadap perempuan yang terjangkit HIV.
 
Dengan banyaknya stigma yang dialami pengidap HIV/AIDS,  diperlukan solusi yang tepat dalam menangani masalah tersebut. Kami berharap program skrining pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS dapat menjadi langkah yang tepat dalam mengurangi tingginya kasus penuaran HIV/AIDS terhadap ibu rumah tangga. Selain itu, kami juga berharap agar semua pihak tidak menganggap ODHA sebagai hal yang negatif dan memperlakukan mereka layaknya manusia normal dan sehat. 
 
Referensi :
 
1. Kementerian Kesehatan RI. 2023. “Kasus HIV dan Sifilis Meningkat, Penularan Didominasi Ibu Rumah Tangga.” Diakses pada 14 Februari 2024 dari https://p2p.kemkes.go.id/kasus-hiv-dan-sifilis-meningkat-penularan-didominasi-ibu-rumah-tangga/
 
2. Merry Wahyuningsih. 2012. Kisah Ibu Rumah Tangga dengan HIV Positif yang Lahirkan Anak Sehat”. Diakses pada 14 Februari 2024 dari https://health.detik.com/ulasan-khas/d-2110380/kisah-ibu-rumah-tangga-dengan-hiv-positif-yang-lahirkan-anak-sehat
 
3. Imam Ajip Ispurnawan, et  al. 2021. “Pengaruh Konseling Terhadap Self Stigma Pasien HIV/AIDS Dengan Pendekatan Teori Lawrence Green”. Jurnal EDUNursing. Volume 5, No. 2, September 2021
 
4. Ellya Susilawati. 2022. “Pembentukan Self Stigma Orang engan HIV/AIDS Binaan Lembaga Sosial Masyarakat Lensa Sukabumi”. Jurnal. Ilmiah Rehabilitasi Sosial. Volume 4, No. 1, Juni 2022  
 
5. Laura Nyblade, dkk. 2009. “Memerangi Stigma HIV di Layanan Kesehatan: Apa yang berhasil?”. Diakses pada 20 Februari 2024 dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2731724/pdf/1758-2652-12-15.pdf
 
Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

7 comments

  1. Gambar Gravatar Yuliyanti berkata:

    Trims infonya sangat bermanfaat utk kami

  2. Gambar Gravatar Herlina berkata:

    Trimaksih infonya , bermanfaat sekali

  3. Gambar Gravatar Amalia berkata:

    Sangat mengedukasi

  4. Gambar Gravatar Yuli susanti berkata:

    Sangat bemanfaat

  5. Gambar Gravatar Dike rizky amalia berkata:

    Sangat bermanfaat

  6. Gambar Gravatar devita berkata:

    trimakasih infonya sangat bermanfaat sekali

  7. Gambar Gravatar Putri berkata:

    Terima kasih infonya