oleh

Kesalahan yang Sering Dilakukan dalam Pengelolaan Keuangan Bisnis Pemula

-Opini, dibaca 770 x

Penulis: 

Vania Pradipta Gunawan, M.Sc 
(Dosen Universitas Prasetiya Mulya)

 
Memiliki ide bisnis dan modal belum tentu menjamin kesuksesan seorang pelaku bisnis yang baru merintis usahanya. Aspek-aspek manajerial terkadang diabaikan oleh pemilik bisnis, diantaranya aspek manajemen keuangan. Bahkan, aspek manajemen keuangan dianggap sebagai aspek yang paling sering diabaikan. Padahal, pencatatan keuangan yang baik perlu dilakukan secara konsisten agar bisnis dapat mengendalikan keuangannya (Pickle and Abrahamson, 1990, dalam Singh dan Tiwari, 2022). 
 
Sebagian besar pemilik UKM mengelola keuangan mereka dengan tabungan pribadi karena kelayakan pinjaman dan aksesibilitasnya masih sulit untuk perusahaan kecil, khususnya yang berlokasi di daerah semi perkotaan dan pedesaan (Singh dan Tiwari, 2022). Sehingga, kegagalan akan bisnis akan berdampak pada ketahanan keuangan pribadi. Oleh karena itu, sangat penting bagi para pelaku bisnis untuk lebih cermat dalam melakukan pencatatan keuangan dengan tepat. 
 
Berikut adalah kesalahan dalam pemisahan keuangan pribadi dan bisnis: 
 
1. Tidak mencatat penggunaan aset pribadi untuk bisnis
 
Ini adalah kesalahan yang paling umum dilakukan bisnis pemula. Bukan berarti sebuah bisnis tidak bisa dijalankan dari rumah pribadi pemilik, atau menggunakan listrik, gas, maupun peralatan yang sudah tersedia di rumah. Merintis sebuah bisnis baru membutuhkan modal yang tidak sedikit, sehingga tidak jarang pelaku bisnis awal menggunakan aset yang sudah tersedia sebagai upaya penghematan. Namun harus diingat bahwa tanpa mencatat aset apa saja yang digunakan, serta nilai pemakaiannya, akan menyebabkan pelaku bisnis tidak mengetahui nilai total beban bisnis sebenarnya. 
 
Tidak mencatat penggunaan aset pribadi sebagai sewa akan menyebabkan nilai beban bisnis yang tercatat undervalued. Pemilik bisnis akan mengira bisnisnya mendatangkan laba yang tinggi, padahal banyak beban tambahan yang ditanggung keuangan pribadinya, seperti pemakaian gas dan listrik yang meningkat, atau pembelian bensin kendaraan yang bertambah. Sehingga, pemilik akan merasa terlalu optimis atas keuntungan bisnisnya, dan membuat keputusan yang tidak tepat. Sementara itu, keuangan pribadinya terkeruk secara tidak disadari. Bahkan, sebagian pelaku bisnis tidak mengetahui nilai keuntungan sebenarnya dari bisnisnya karena tidak melakukan pembebanan kepada bisnisnya atas penggunaan aset pribadi. 
 
2. Tidak mencatat pemakaian aset bisnis untuk kepentingan pribadi 
 
Mengambil persediaan kue dari bisnis untuk saudara yang berulangtahun, seorang make up artist memberikan jasa make up kepada temannya tanpa biaya dengan memanfaatkan peralatan bisnis, akan menyebabkan beban yang dicatat tidak akurat. Ada pengurangan aset bisnis yang terjadi, yang sewajarnya akan menghasilkan pendapatan, namun tidak menghasilkan pendapatan karena tidak mendapatkan bayaran. 
 
Tentu bukan berarti seorang pelaku bisnis tidak diperbolehkan memberikan menggunakan produk/jasa bisnisnya untuk keperluan pribadi, namun pemakaian tersebut harus dicatat sebagai beban. Hal tersebut disebabkan karena ada aset yang terpakai untuk pemberian produk/jasa tersebut, contohnya pemakaian bahan-bahan dan listrik untuk membuat kue, serta alat dan perlengkapan make up yang terpakai. 
 
Selain itu, hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemakaian aset untuk keperluan pribadi adalah berkurangnya kapasitas bisnis untuk penjualan yang menghasilkan uang. Kembali ke contoh memberikan kue dari stok bisnis kepada saudara dari pemilik menyebabkan kue tersebut tidak bisa dijual dan menghasilkan pendapatan. Dalam contoh make up artist, di tanggal tersebut dia jadi tidak bisa mendapatkan klien yang akan membayar atau terjadi opportunity loss. Hal ini menyebabkan keuntungan dari sebuah bisnis akan jadi tidak optimal. Seorang pelaku bisnis harus menentukan batas berapa banyak aset yang bisa digunakan untuk kepentingan pribadi dalam suatu periode agar tidak mengganggu keberlangsungan bisnisnya. 
 
3. Tidak membuat anggaran operasional dan keuangan 
 
Anggaran keuangan atau disebut juga budget adalah penjabaran rencana dari bisnis untuk waktu tertentu yang dinyatakan dalam satuan uang (Weygandt, 2021). Bisnis yang tidak membuat perencanaan keuangan dan dijalankan secara sporadis menyebabkan akan terjadi ‘kejutan-kejutan’ dalam perjalanannya. Kejutan yang negatif akan berakibat buruk karena bisnis tidak menduga dan tidak siap mengantisipasinya. Contohnya, jika tidak meriset dan menganggarkan perubahan harga bahan baku dan biaya transportasi menjelang hari raya, maka bisnis bisa merugi karena memberikan harga yang salah. 
 
Sebaliknya, kejutan yang positif juga jika sudah diantisipasi akan menyebabkan bisnis bisa mengoptimalisasi keuntungan yang didapatkan. Contohnya, jika sudah mengantisipasi kenaikan penjualan pada periode high season, maka sebuah bakery bisa mencari tambahan tenaga kerja sebelum periode tersebut. Sebuah kafe yang berada di kawasan destinasi wisata bisa mengantisipasi long weekend dengan cara menyiapkan dana tambahan untuk memproduksi lebih banyak persediaan kue dan roti agar bisa mengoptimalkan penjualan. 
 
Anggaran sebaiknya dibuat berdasarkan data historis mengenai pendapatan, beban, serta perubahan yang terjadi berikutnya. Selain itu, juga berdasarkan perkiraan atas tren dan perkiraan kondisi ke depan, seperti inflasi (kondisi ekonomi), kondisi politik, dan sebagainya tergantung lingkup usaha bisnis tersebut. Dengan adanya anggaran, bisnis memiliki panduan untuk beroperasi dalam periode waktu yang ditentukan. 
 
Fungsi lain dari suatu anggaran adalah sebagai sarana evaluasi. Ketika periode anggaran dimulai dan terdapat ketidaksesuaian antara anggaran dan realisasi, bisa dilakukan penyesuaian dari kegiatan operasi. Misalnya, jika realisasi penjualan hanya sebesar 25% dari anggaran, maka harus segera dilakukan evaluasi. Tidak menutup kemungkinan bahwa evaluasi ini akan melibatkan aspek manajerial lain, seperti mengubah strategi marketing atau menyesuaikan kualitas produk dengan permintaan pasar. Demikian juga setelah periode anggaran selesai, dapat dilakukan evaluasi sebelum membuat anggaran periode selanjutnya. Pelaku bisnis dapat mengetahui apa saja strategi yang berhasil maupun yang gagal dalam bisnisnya. 
 
4. Tidak memiliki dana darurat 
 
Seperti dalam perencanaan keuangan pribadi, bisnis pun perlu memiliki dana darurat. Ada biaya tetap yang ditanggung sebuah bisnis, yaitu biaya yang tetap akan muncul meskipun tidak terjadi penjualan. Contohnya, bagi sebuah kafe adalah biaya sewa tempat, biaya listrik, air, lingkungan, dan biaya gaji karyawan tetap yang harus dibayarkan meskipun tidak menjual apapun. Pada periode pandemi Covid-19, banyak sekali bisnis yang terpaksa gulung tikar karena harus tetap menanggung biaya tetap meskipun tidak bisa beroperasi karena terhalang pandemi. Dengan memiliki dana darurat, maka bisnis dapat terus membayarkan biaya tetapnya selama beberapa waktu sambil menyusun rencana cadangan untuk memiliki pendapatan dari sumber lain. 
 
Biaya tetap setiap bisnis berbeda-beda, maka dana darurat yang perlu disiapkan pun berbeda. Semakin banyak karyawannya, semakin besar harga sewa tempatnya, semakin khusus sektor industrinya, maka semakin besar pula dana darurat yang harus disiapkan. Perlu komitmen dari pemilik dan pengelola bisnis untuk tidak menggunakan dana darurat untuk keperluan apapun selain kondisi luar biasa. Begitu juga definisi dari kondisi luar biasa pun perlu ditentukan dari awal, agar dana darurat tidak terpakai untuk hal-hal yang sebenarnya tidak darurat. 
 
Untuk mengurangi dampak dari empat kesalahan di atas, maka pelaku bisnis dapat memulai dengan memisahkan keuangan pribadi dan keuangan bisnis. Selain itu, pelaku bisnis harus mulai berkomitmen mencatat semua pemasukan dan pengeluaran bisnis agar dapat membuat anggaran dan menentukan dana darurat. 
 
Referensi
 
Darmuji & Fatiyah, H. (2021). The Influence of Independence, Motivation, and Understanding of Entrepreneurship on Entrepreneurial Interest in Vocational Students. Jurnal AKSI (Akuntansi Dan Sistem Informasi), 6(1). 

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2009. Standar Akuntansi Keuangan per 1 Juli 2009. Jakarta: Salemba Empat

Singh, S. and Tiwari, M. (2020). Financial  Management  Practice  in  Small Business, Parishodh Journal, 9(3), 6609- 6615.
Weygandt, Jerry J., Paul D. Kimmel, and Kieso, D. (2019). Financial Accounting: IFRS, 4th ed., John Wiley & Sons, Inc. 

Weygandt, Jerry J., Paul D. Kimmel, and Kieso, D. (2021). Managerial Accounting: Tools for Business Decision Making, 9th ed., John Wiley & Sons, Inc. 
 
Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

0 comments