oleh

Krisis Air Bersih di Pemukiman Mahasiswa Universitas Sriwijaya Indralaya

-Opini, dibaca 1727 x

Penulis:

1. Amanda Dea Qur’annisya
2. Dinanty Satahi
3. Zahra Salsabila
 
 
Apa yang terlintas dipikiranmu terhadap kondisi air di tempat tinggalmu? Apakah air yang digunakan cukup memenuhi syarat air bersih?
 
“Air di kosan saya beberapa bulan lalu cenderung sangat keruh dan berwarna kecokelatan sehingga ketika saya mencuci pakaian selalu meninggalkan noda cokelat dipakaian, yang tadinya mencuci agar menjadi bersih dan wangi, ternyata malah sebaliknya. Pemilik kosan pun mengambil tindakan untuk membuat air menjadi jernih, yaitu kosan saya menggunakan air yang ditampung di tandon. Alhamdulillah saat ini warna airnya menunjukkan perubahan sehingga sudah bisa dikategorikan jernih, cuma terkadang sesekali airnya berubah cokelat tetapi tidak lama dan tidak setiap hari.” kata Salma, salah satu mahasiswa yang bertempat tinggal di kosan sekitar Universitas Sriwijaya Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Minggu (22/10/2023).
 
Air bersih menjadi sumber kehidupan masyarakat, salah satunya masyarakat di lahan gambut. Desa Timbangan, Kecamatan Indralaya Utara, Kabupaten Ogan Ilir merupakan salah satu wilayah lahan gambut di Sumatera Selatan. Mayoritas penduduk di Desa Timbangan adalah mahasiswa. Di setiap kosan, rata-rata memiliki air yang kurang jernih karena banyak dari kosan tersebut menggunakan sumber air yang berasal dari air tanah. Hal ini mengakibatkan mayoritas mahasiswa mengeluh sebab air yang digunakan tidak memenuhi syarat yang sudah ditetapkan.
 
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416/MEN.KES/PER/IX/1990 Tentang Syarat-Syarat dan Pengawasan Kualitas Air, persyaratan kualitas air bersih yang sudah ditetapkan berdasarkan parameter fisika adalah tidak berbau, tidak berasa dan tidak berwarna.
 
Lahan gambut sendiri bersifat higroskopis, yaitu kemampuan mengikat dan melepas air. Keadaan tersebut menyebabkan lahan gambut cenderung menyerap air ketika musim hujan dan melepas air ketika musim kemarau. Sifat higroskopis di lahan gambut memiliki beberapa manfaat, yaitu sebagai pengendali banjir dan penyedia air. Namun, air yang terdapat di lahan gambut memiliki kualitas yang kurang baik jika digunakan secara langsung oleh masyarakat lokal. Hal ini terbukti dari ciri fisik air gambut itu sendiri.
 
Air gambut memiliki ciri khas secara fisik, yaitu airnya memiliki warna kuning kecokelatan yang kepekatannya dapat menggambarkan bagaimana kualitas airnya dan kadar asam yang tinggi. Warna tersebut disebabkan oleh kandungan bahan organik terlarut yang dihasilkan oleh pelapukan sisa tumbuhan. Selain itu, kekeruhan di dalam air disebabkan oleh zat tersuspensi, diantaranya lumpur, plankton dan zat-zat halus lainnya.
 
Kemudian, air yang memiliki bau tidak sedap disebabkan oleh unsur organik yang membusuk dan biasanya terdapat di dasar air. Hal ini jika sudah banyak terjadi, maka akan menghasilkan keadaan yang baik bagi pertumbuhan bakteri anaerobik sehingga dapat menimbulkan gas-gas bau (Marlina, 2017; Sinambella, Marlina and Santoso, 2022). Maka dari itu, ciri khas tersebut membuat air di lahan gambut tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih.
 
“Ketika air keruh itu saya merasakan kulit saya seperti gatal-gatal, kemudian saya merasa ketika cuci muka itu tidak bersih” jelas Salma.
 
Air di lahan gambut yang tidak memenuhi persyaratan kualitas air bersih memiliki beberapa dampak buruk bagi penggunanya, diantaranya menyebabkan kerusakan pada gigi dan kesakitan pada perut. Hal ini disebabkan karena air gambut memiliki kadar asam yang tinggi sehingga membuat rasa air tersebut menjadi asam. Selain itu, air yang memiliki kualitas buruk dapat memberikan dampak bagi kesehatan lingkungan, yaitu terjadinya peningkatan beban penyakit yang biasanya terjadi ialah penyakit diare dan penyakit kulit. Kualitas air yang berwarna kuning hingga merah kecoklatan juga bisa merusak kualitas pada bahan pakaian maupun bak mandi (Puspitasari, 2009).
 
Kondisi air yang buruk serta menimbulkan dampak bagi penggunanya membuat beberapa pemukiman mahasiswa sekitaran kampus Universitas Sriwijaya krisis akan air bersih. Maka itu, perlu adanya upaya dalam mengatasi krisis air bersih tersebut yakni cara alternatifnya dengan melakukan proses pengolahan air kotor. Dalam penelitian Dwiratna, Pareira P and Kendarto (2018), terdapat tiga proses dalam pengolahan air, antara lain:
 
1. Proses koagulasi, merupakan proses pembubuhan bahan kimia ke dalam air agar kotoran dalam air, seperti lumpur halus, bakteri, dan lainnya, dapat menggumpal dan mengendap dengan cepat. Cara paling sederhana dan murah adalah menambahkan tawas atau alum. Hal ini dilakukan dengan memasukkan larutan tersebut ke dalam air baku dan mengaduknya dengan cepat selama sekitar dua menit. Setelah itu, kecepatan pengadukan dikurangi hingga kotoran tersuspensi bergabung dengan air baku. Kemudian, dibiarkan beberapa saat untuk membuat gumpalan kotoran atau flok lebih besar dan berat sehingga mengendap dengan cepat.
 
2. Proses pengendapan. Proses ini dilakukan setelah tahap koagulasi selesai, air dibiarkan tersisa sampai gumpalan kotoran mengendap. Setelah kotoran mengendap, air akan tampak lebih jernih. Kemudian, dapat membuka kran penguras di bawah tangki untuk membersihkan endapan yang terkumpul di dasar tangki.
 
3. Proses filtrasi. Proses ini dilakukan disebabkan karena semua gumpalan kotoran dapat mengendap selama proses pengendapan. Gumpalan kotoran berukuran besar dan berat akan mengendap, sedangkan gumpalan kotoran berukuran kecil dan ringan tetap berada di dalam air. Proses penyaringan dan filtrasi harus dilakukan untuk mendapatkan air yang benar-benar jernih. Pengaliran air tercemar melalui media berpori dikenal sebagai
 
filtrasi. Filter pasir sederhana, arang dan gerabah adalah beberapa jenis filter yang dapat digunakan.
 
Referensi :
Dwiratna, S., Pareira P, B.M. and Kendarto, D.R. (2018) ‘Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengolahan Air Banjir Menjadi Air Baku Di Daerah Rawan Banjir’, Dharmakarya, 7(1), pp. 75–79. Available at:
 https://doi.org/10.24198/dharmakarya.v7i1.11444.

Kemenkes RI (1990) ‘Peraturan Menteri Kesehatan Nomor : 416/Men.Kes/Per/IX/1990 Tentang Syarat-syarat Dan Pengawasan Kualitas Air’, in Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Available at:
 file:///C:/Users/hp877/Downloads/kepmenkes_1098MENKESSKVII2003.pdf.
Marlina, S. (2017) ‘Tata Air dan Kerentanan Lingkungan Lahan Gambut’, 2(2), pp. 25– 34.

Puspitasari, D.E. (2009) ‘Dampak Pencemaran Air terhadap Kesehatan Lingkungan dalam Perspektif Hukum Lingkungan (Studi Kasus Sungai Code di Kelurahan Wirogunan Kecamatan Mergangsan dan Kelurahan Prawirodirjan Kecamatan Gondomanan Yogyakarta)’, Mimbar Hukum, 21(1), pp. 23–34. Available at:

https://doi.org/10.22146/jmh.16254.
Sinambella, A., Marlina, S. and Santoso, A.I. (2022) ‘Pengolahan Air Gambut Menjadi Air Bersih dengan Teknologi Sederhana di Kecamatan Sabangau Kelurahan Bangkirai Kota Palangka Raya’, Media Ilmiah Teknik Lingkungan, 7(2), pp. 56–62. Available at:

https://doi.org/10.33084/mitl.v7i2.3554.
 
 
Editor: Aricha Kesuma Sari & Thifal Khalida Salsabila Email: thifalkhalida1@gmail.com
 
Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

0 comments