oleh

Menakar Kesiapsiagaan Sumatera Selatan Menghadapi Puncak Pandemi COVID-19

-Sosial , dibaca 1374 x

 “Dek lebih baik aku mati diluar rumah dengan mencari nafkah daripada aku dirumah tapi wong rumah, istri dan anak, mati kelaparan” (Tukang Bangunan A, Palembang)

[sambil menempel poster-poster dari alumni FKM Unsri] Kami ne galak (mau) bergerak ke masyarakat, cuma kami dak terpikir nak buat poster-poster cak ini”(Lurah B, Kayuagung)

Di atas adalah kutipan singkat dialog informal yang terjalin ketika beberapa tim alumni terjun ke masyarakat untuk kegiatan edukasi terkait Covid-19. Kutipan pertama dari pekerja sektor informal menanggapi kebijakan dirumah saja dalam rangka mengurangi resiko penyebaran Covid-19. Kebijakan ini tidak mengena untuk 70 % masyarakat Indonesia yang rata-rata bekerja di sektor informal dan harus keluar rumah untuk mencari nafkah harian untuk menghidupi keluarga mereka. Kutipan kedua adalah dari pekerja pemerintah di salah satu kelurahan di Kayu Agung. Bagaimana kelurahan ingin bergerak ke masyarakat, tapi kebijakan di Indonesia yang terbiasa dari atas ke bawah (top down), cukup menyulitkan bagi lini yang dekat masyarakat, seperti kelurahan, untuk berinisiatif bergerak dengan SDM yang mereka punya untuk edukasi masyarakat tentang Covid-19.

Angka kematian akibat virus Covid-19 di Indonesia adalah yang tertinggi (nomor 1) di Asia Tenggara. Diantara 100 orang yang terinfeksi Covid 19, ada sekitar 7 orang beresiko meninggal dunia di Indonesia. Sedangkan, angka kesembuhan masih sekitar 20% dan akan terus meningkat dibeberapa minggu ke depan dan angka kasus baruterus meningkat tajam diikuti oleh angka kematian yang sudah tembus pada angka 1.274 jiwa per 22 Mei 2020.

Keterlambatan mengumumkan kasus pertama di Indonesia, pada 2 Maret 2020, bisa jadi menjadi sebab mengapa penanggulanan Covid-19 di Indonesia termasuk terlambat, disaat negara tetangga ASEAN telah mengumumkan keberhasilan mereka mengendalikan wabah ini. Misal, persentase kasus yang sembuh ini jauh lebih rendah dari Thailand, Vietnam, Timor Leste, Kamboja, dimana angka kesembuhan yang sudah mencapai diatas 95 % dan tingkat angka kematian fatal rendah hingga 0 kematian. Mirisnya, semua di negara Asia Tenggara, tidak ada kematian baru hingga 22 Mei, kecuali Indonesia-36, Singapura-1 jiwa- dan Filipina -4 kasus kematian baru (Worldometer, 22 Mei 2020).

Estimasi kasus Covid-19 di Sumatera Selatan

Indonesia akan menghadapi musibah yang luar biasa dalambeberapa minggu ke depan padapuncak Pandemi Covid 19 jika intervensi tidak dilakukan secara menyeluruh. Dengan sistem birokrasi di Indonesia yang tumpang tindih antara daerah dan pusat dan fokus utama sistem kesehatan masih pendekatan kuratif atau pengobatan, penanganan Covid-19 di Indonesia perlu di analisa dengan pendekatan Epidemiologi dan statistik untuk menakar kesiapsiagaan setiap provinsi, termasuk Sumatera Selatan. Pencegahan dengan pendekatan kesehatan masyarakat diperlukan sebagai sebagai ikhtiar bersama untuk pencegahan penyebaran virus ini yang sangat mudah menular dan bisa menyebabkan kesakitan hingga kematian dalam waktu singkat, terutama pada kelompok yang beresiko, seperti orang tua, orang dengan penyakit degeneratif, dan tenaga kesehatan yang bertugas. Estimasi yang kami lakukan sebagai gambaran, bahwa angka-angka ini bisa ditekan seminimal mungkin jika kita bergotong-royong dalam mitigasi bencana Covid-19.

Jumlah kasus Covid-19 positif di Provinsi Sumatera Selatan berada di peringkat 7 nasional (693 kasus per tanggal 22 Mei 2020). Jumlah ini juga menjadikan Sumsel sebagai provinsi dengan kasus tertinggi kedua diluar pulau jawa, dan kasus tertinggi di Pulau Sumatera.

Saat ini, kasus Covid 19 yang teridentifikasi, baru sekitar 5-10 % dari estimasi kasus Covid-19 yang sudah menyebar di masyarakat (Gambar 1).Tanpa intervensi secara menyeluruh, kasus Covid-19 di Sumsel akan mencapai 1.000 orang dan akan terus meningkat tajam hingga 150.000 kasus pada akhir Mei 2020 di Sumsel dan pada puncak pandemi, sepertiga penduduk Sumsel atau 3 juta penduduk, beresiko terinfeksi Covid-19 (Yeni, Najmah, 2020).

Namun, keterbatasan alat diagnostik untuk deteksi dini, rapid test dengan tingkat akurasi yang minim dan kurangnya SDM dalam pelacakan kasus yang telah menyebar di masyarakat Sumsel, bisa jadi menjadi salah satu kendala deteksi dini, terutama untuk kasus Covid-19 yang tak bergejala. Yang menjadi catatan, rata-rata 80 % yang terinfeksi Covid-19 bisa jadi tak bergejala, bergejala ringan hingga sedang seperti flu dan batuk musiman. Tanpa adanya kesempatan yang sama di masyarakat untuk akses tes Covid-19, definisi sakit dan sehat yang berbeda dengan perbedaan status ekonomi, serta keterbatasan layanan yang menyediakan akses tes ini, deteksi dini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Sumsel untuk menekan penyebaran kasus sedini mungkin.

 

 Gambar 1. Estimasi jumlah kumulatif kasus positif Covid-19 dan jumlah kumulatif kasus positif yang dilaporkan di Provinsi Sumatera Selatan (Yeni & Najmah, 2020)

Catatan: Estimated cases: jumlah kasus prediksi Covid-19; Reported cases: jumlah kasus yang teridentifikasi di Sumsel

 

Apakah PSBB efektif untuk menurunkan kasus Covid-19 di Sumsel?

Hal yang memberikan angin segar, berdasarkan SK menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/Menkes/307/2020 diketahui bahwa permohonan pelaksanaan PSBB di Kota Palembang dan Prabumulih telah disetujui sejak tanggal 12 Mei 2020 dan kemungkinan akan disusul kabupaten/kota lainnya. Hal yang perlu kita kritisi adalah, apakah hanya dengan pembatasan sosial berskala besar, dapat melandaikan kurva epidemi di provinsi yang kita cintai?

Berdasarkan studi literatur yang tim kami lakukan, penerapan PSBB masih belum cukup efektif untuk menekan mobilisasi masyarakat di Indonesia. Kota Surabaya menjadi salah satu contoh dimana pelaksanaan PSBB dengan segala aturan dan sanksi yang disusun, belum cukup mampu menurunkan jumlah kasus baru covid-19 di wilayah mereka. Sebuah survei yang dilakukan IKA FKM UNAIR dan Persakmi Jawa Timur menunjukkan bahwa selama PSBB tahap pertama dilakukan di Surabaya, kegiatan-kegiatan di tempat-tempat dengan potensi keramaian yang tinggi seperti tempat ibadah, kantor atau pabrik, tempat nongkrong, pusat perbelanjaan dan olahraga masih sangat aktif dilakukan. Selama PSBB, masih banyak masyarakat yang tidak menggunakan masker ketika di luar rumah dan aktifitas diluar rumah masih cukup tinggi, selain itu angka mudik tetap terus berjalan tanpa ada pembatasan atau penutupan wilayah per provinsi di Indonesia.

Kunci dari keberhasilan PSBB adalah disiplin masyarakat, namun disiplin juga yang sudah sejak lama menjadi Pekerjaan Rumah besar ditengah masyarakat kita. Mari mengingat kembali beberapa waktu sebelum pandemi Covid-19 merebak di Indonesia, berapa banyak masalah yang timbul dari pelanggaran kedisiplinan? Contoh sederhana, lihat saja berapa banyak kecelakaan lalu lintas yang terjadi karena ketidak disiplinan masyarakat mematuhi peraturan dan tata tertib lalu lintas, meskipun hal tersebut sepenuhnya demi kepentingan dan keselamatan masyarakat itu sendiri. Jadi, perlu dipertimbangkan ulang intervensi lain selain PSBB dari pemerintah yang tidak bergantung pada kesadaran “disiplin” masyarakat.

Apa yang perlu kita lakukan, jika kita mau belajar dari negara tetangga terdekat kita di Asia Tenggara?

Beberapa negara tetangga kita, seperti Vietnam dan Thailand, yang telah sukses mengendalikan virus Covid-19, social-physical distancing, harus diikuti oleh beberapa pencegahan berganda dalam konsep kesehatan masyarakat, seperti pembatasan mobilitas masyarakat, isolasi 14 hari untuk pendatang, dan menyediakan outlet masker. Kombinasi antara pencegahan kasus baru masuk ke negara ini, pelacakan kasus lebih awal dan intervensi kesehatan masyarakat berganda seperti isolasi atau karantina mandiri dirumah serta perubahan perilaku seperti mencuci tangan dan penggunaan masker dapat mengurangi transmisi dan dampak dari pandemi influenza.

Vietnam, tidak melakukan total lock down, tapi pemerintah melakukan pembatasan perjalanan internasional dengan sangat ketat. Misal, per 30 Januari 2020, Vietnam menolak semua orang asing baik dari China atau negara lain yang sempat transit di China dalam 14 hari sebelum kedatangan di Vietnam Semua wisatawan yang datang ke Vietnam harus dikarantina di fasilitas terpusat selama 14 hari dan diberikan fasilitas makan dan penjagaan kebersihan ruangan isolasi mereka secara rutin. Bayangkan, para tentara ikut turun serta membersihkan kamar atau rumah tinggal para pendatang, baik warga Vietnam maupun wisatawan asing yang masuk ke Vietnam untuk mencegah penyebaran virus ini. Walau tidak semua pendatang itu terinfeksi Covid-19, mencegah lebih awal membuktikan, virus ini tidak menyebar secara luas di Vietnam.

Thailand, negara yang menerapkan sistem Lock down, telah menutup penerbangan internasional mereka sejak awal Maret 2020 dan melarang perjalanan antar wilayah atau provinsi di Thailand selama April 2020. Pemerintah Thailand juga memperlakukan jam malam sehingga tidak ada masyarakat yang keluar rumah mulai pukul 10 malam hingga pagi hari. Menariknya, Thailand mendirikan sebuah pusat yang bertugas mengelola perjalanan masuk dan keluar dari kerajaan dengan tindakan penyaringan, karantina dan pemantauan yang lebih ketat serta pembukaan outlet masker gratis untuk penduduk mereka dan menerapkan hukuman penjara atau denda bagi masyarakat mereka yang melanggar aturan-aturan kewaspadaan dini ini. Begitu pun Malaysia, yang menerapkan sistem Lock Down, mereka hanya menerima kepulangan warga negara Malaysia saja di penerbangan internasional dan pemudik yang baru datang diberikan fasilitas hotel gratis selama 14 hari masa karantina. Pemerintah Malaysia mengambil keputusan tegas untuk memulangkan hampir semua tenaga kerja asing mereka ke negara masing-masing, termasuk yang berasal ke Indonesia. Ketiga negara terdekat kita ini menjadi contoh juga bagaimana dukungan ekonomi dengan memberikan pendapatan per hari atau per bulan, ke warganya, termasuk pekerja asing, walaupun mereka beraktifitas dirumah saja.

Dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara, cakupan pemeriksaan kasus per 1 juta penduduk di Indonesia juga masih rendah. Data dari Worldometersmenunjukkan, jumlah test per 1 juta penduduk di Indonesia baru 805 orang. Bandingkan dengan Thailand yang sudah melakukan test 4.701 per 1 juta penduduk, atau Malaysia 14.896, bahkan Singapura 50.368 per 1 juta penduduk mereka. Dengan jumlah penduduk Indonesia hampir 270 juta, jumlah dan cakupan test di Indonesia masih jauh dari ideal, dibutuhkan level komitmen dan keseriusan yang lebih tinggi dari saat ini.

Provinsi Sumatera Selatan sendiri menghadapi tantangan, bukan hanya dari cakupan jumlah test, tapi juga dari jumlah sampel yang semakin bertambah dan berdampak semakin panjang nya masa tunggu sampai hasil keluar. Dari yang dirilis dari Gugus Tugas Provinsi Sumsel, sampai dengan tanggal 21 Mei 2020, jumlah sampel yang masih dalam proses pemeriksaan mencapai lebih dari 1.800 sampel. Perlu dipikirkan rencana-rencana strategis untuk penambahan kapasitas Laboratorium pemeriksaan, sebagai antisipasi terhadap kemungkinan terburuk, seperti drive-throughPCR test di beberapa tempat.

 

 

 Gambar 2. Prediksi jumlah kasus yang butuh perawatan di rumah sakit terhadap ketersediaan ventilator dan tempat tidur di provinsi Sumatera Selatan tanpa intervensi berganda (Yeni & Najmah, 2020)

Apakah Sumsel akan siap pada saat puncak pandemi terjadi ?

Merujuk kepada data kementerian kesehatan RI pada tahun 2018, ketersediaan tempat tidur di Sumsel hanya sekitar 9045 unit dengan 281 unit ventilator yang tersebar di seluruh Rumah sakit di Sumsel (hal ini belum termasuk tambahan unit di kawasan wisma Atlit dan beberapa RS baru). Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dalam menghadapi situasi pandemi yang sedang terjadi dan akan menuju puncaknya beberapa minggu ke depan. Belum lagi jika kita melihat ketersediaan tenaga kesehatan di fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada di Sumsel. Sudah beberapa pekan terakhir kita tentu mendengar berita mengenai banyaknya tenaga medis dan paramedis kita yang tertular Covid-19 saat menjadi garda terdepan baik di Indonesia secara umum maupun di Sumsel pada khusunya. Bahkan, kasus nomor 2 di Sumsel sendiri adalah seorang tenaga medis yang baru teridentifikasi positif Covid-19 setelah beliau meninggal dunia.

Dari hasil pemodelan yang tim kami lakukan, pada puncak pandemi akhir bulan Juni nanti, estimasi sekitar 600 ribu penduduk yang positif Covid-19 akan membutuhkan perawatan di Rumah sakit dan lebih dari 100 ribu orang memerlukan perawatan ICU (red tanpa intervensi menyeluruh/Gambar 2). Artinya apa? pada saat puncak pandemi terjadi, dapat dipastikan bahwa semua rumah sakit di Sumsel tidak akan mampu menampung tambahan kasus baru yang teridentifikasi.

Skenario ini akan berbeda, jika pemerintah melaksanakan mitigasi bencana Covid-19 dengan pendekatan berganda. Hasil pemodelan kami menunjukkan bahwa dengan adanya intervensi ganda, sebanyak 128 ribu kasus akan membutuhkan perawatan dan sekitar 31 ribu kasus butuh perawatan ICU. Dengan skenario intervensi ganda ini diharapkan tidak akan terjadi penumpukan pasien di rumah sakit-rumah sakit yang ada di Sumsel saat ini (Gambar 3).

 

 

 Gambar 3. Prediksi jumlah kasus yang butuh perawatan di rumah sakit terhadap ketersediaan ventilator dan tempat tidur di provinsi Sumatera Selatan dengan intervensi berganda (Yeni & Najmah, 2020)

Irisan-irisan mitigasi bencana Covid-19

Mengingat terbatasnya sumber daya manusia dan kesehatan di Sumsel, pemerintah perlu bergerak cepat sebelum rumah sakit-rumah sakit di Sumsel kewalahan dalam menangani pasien Covid-19 pada puncak pandemi nanti. Apa yang perlu kita lakukan?

  1. Tingkat Individu: partisipasi keluarga untuk kewaspadaan dini

“Ini tinggal tergantung dewek-dewek [masing-masing], jago diri dan keluarga masing-masing (Ibu Meri, 2020)

WHO memprediksi Covid-19 akan berpindah dari pandemi menuju endemik, dimana virus Covid-19 akan menetap dalam jangka waktu lama disuatu negara, termasuk di Indonesia. Kesiapan Indonesia, termasuk Sumsel, masih jauh dibandingkan beberapa negara tetangga., karena belum ada upaya menutup jalur transportasi penerbangan nasional dan internasional, penutupan jalur transportasi darat dan laut antar provinsi, dan PSBB baru dilaksakana di dua kabupaten/kota.

Tanpa mengetahui mana penduduk yang telah terinfeksi Covid-19 karena keterbatasan akses tes Covid-19, kita perlu mengoptimalkan pemberdayaan keluarga, seperti ibu dan anak perempuan, dalam untuk memutus mata rantai virus ini. Kita sebut ini kewaspadaan dini ditingkat keluarga, dan tidak ada kata damai dengan Covid-19.

Kenapa mulai dari keluarga? Keluarga telah mengakar di kehidupan keseharian kita sebagai pondasi suatu bangsa dan ibu memiliki peran penting dalam rumah tangga untuk merawat dan menjaga suami dan istri di budaya patriarki yang kuat. Sehingga, pendekatan lokal haruslah dilakukan.

Memberdayakan ibu bisa jadi menjadi ujung tombak kewaspadaan dini ditingkat masyarakat sebagai sosok yang diteladani di keluarga. Disisi agama, kita mengenal “surga itu dibawah telapak kaki ibu”. Jadi, ibu perlu aktif mencari informasi pencegahan penyebaran Covid-19 dan mengajarkan anggota keluarga untuk melaksanakan protokol kesehatan Misal semua anggota keluarga wajib cuci tangan ketika masuk rumah dan sebelum keluar rumah, tidak menyentuh mata dan hidung, penggunaan masker pada anak dan keluarga jika keluar rumah, termasuk hanya berbelanja di warung tetangga, menjaga jarak aman dengan orang lain dan membudayakan bersin dan batuk di lengan.

  1. Tingkat Masyarakat: partisipasi guru disekolah, guru les, guru ngaji serta ulama dankader posyandu

Jumlah masyarakat Indonesia jauh lebih banyak dari pegawai pemerintah, jadi di Indonesia, bagaimana masyarakat mendrive[mendorong] pemerintah dan memberikan contoh untuk turut bergerak dalam edukasi Covid-19. Society Empowerment atau pemberdayaan masyarakat adalah salah satu kunci dalam memerangi pandemi secara bersama, dari lingkungan terdekat. Merangkul guru, ulama serta kader posyandu serta organisasi kesehatan serta puskesmas menjadi alternatif kegiatan edukasi ini untuk kewaspadaan dini ditingkat masyarakat. Karena penyuluhan keliling dengan menggunakan mobil, belum cukup efektif dengan masyarakat dengan latar belakang pendidikan dan status ekonomi yang berbeda (ig: ikafkmunsri, covidsumsel, englishcamp_13ulu ).

Misal, Kader-kader Posyandu, yang sudah menjadi bagian masyarakat dan bagian terpenting Puskesmas, bisa diberdayakan dalam proses edukasi perlahan ini dari rumah ke rumah dan diberikan insentif yang layak. Pelatihan kader bisa dilakukan secara virtual sebelum terjun ke masyarakat dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

  1. Tingkat pemerintah

“Tagihan tidak mengenal korona” (Pak Jai, 2020)

Lebih kurang 13 minggu sejak kasus pertama Covid 19 secara resmi diumumkan di Indonesia, pemerintah sampai saat ini masih belum mampu memutus mata rantai penyebarannya. Disaat banyak negara lain sudah menunjukkan penurunan jumlah kasus baru, Indonesia masih terus berjuang mengejar ketertinggalan (misal dari kapasitas pemeriksaan laboratorium yang ditargetkan bisa melakukan pemeriksaan 10.000 sample per hari). Pemerintah juga belum terlihat memiliki Rencana Strategis Nasional dalam penanganan pandemi ini, bahkan kebijakan PSBB yang belum dilaksanakan secara menyeluruh, sudah akan dilonggarkan dalam waktu dekat ini. PSBB idealnya dilakukan serentak di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia, diterapkan tanpa birokrasi yang berbelit, dan terukur efektifitasnya.

Tantangan lain dari pemerintah adalah kemampuan komunikasi, mengubah paradigma edukasi dari kalimat-kalimat yang cenderung menakut-nakuti (seperti dirumah saja atau kami tunggu dirumah sakit) atau kalimat yang tersirat menghakimi moral masyarakat (seperti, jangan mudik jika kamu sayang keluarga); ke arah mengajak partisipasi masyarakat sangatlah penting, disaat pandemi yang belum tahu akan berakhir kapan.Pemerintah perlu menggandeng partisipasi masyarakat dalam mengubah perilaku berbasis kesehatan masyarakat dengan edukasi yang tidak menakut-nakuti. Edukasi itu perlahan dan perlu waktu untuk mengubah perilaku sederhana, seperti cuci tangan dengan sabun dan menggunakan masker.

Opsi selanjutnya adalah merangkul organisasi Kesehatan untukmendukung pemerintah dalam mengadakan pelatihan pencegahan di tingkat layanankesehatan dan konsultasi psikologis serta dukungan motivasi untuk teman-teman tenaga kesehatan yang menjadi Garda terdepan dalam menyembuhkan pasien dengan Covid-19.

Organisasi kemasyarakatan sendiri, dapat berperan sebagai “Sniper” dalam artinya, mentargetkan edukasi maupun bantuan langsung ke penerima-penerima di lingkup terdekatnya. Contoh, yang telah kami lakukan lewat Organisasi Ikatan Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat, kami mentargetkan pemberian bantuan (donasi) kepada kelompok yang termarginalkan, seperti Anak Dengan HIV/AIDS (ADHA) yang mungkin belum banyak mendapat perhatian. Edukasi juga kami lakukan di lingkup terdekat, dari satu orang ke orang lain dari komunitas yang paling dekat. Edukasi juga kami lakukan dengan mengutamakan penggunaan Bahasa lokal (Palembang) yang paling mudah dipahami seluruh lapisan masyarakat.

 

 

 Intervensi dari tingkat individu, masyarakat hingga pemerintah ini, saling beririsan dan perlu dilaksakanan secara bersamaan.

Pada akhirnya,......

Hal yang perlu kita ingat, negara-negara yang telah melalui gelombang pertama pandemi ini, telah menyiapkan strategi untuk kehidupan baru (new normal life) untuk menghadapi gelombang ke dua yang diprediksi akan terjadi akhir tahun ini, dengan tetap malakukan physical distancingserta protokol kesehatan selama pandemi gelombang pertama.

Setidaknya semua pihak harus melihat permasalahan ini dengan kepala dingin, tidak merasa paling mengetahui dan menganggap remeh bagian masyarakat yang lain. Benar bahwasanya ini adalah permasalahan baru dan kita semua belum cukup memiliki pengalaman dalam mengelola permasalahan ini, oleh karenanya perlu ada persatuan di antara semua elemen Masyarakat. Semoga dengan bersatu kita bisa memenangkan peperangan melawan Pandemi ini lebih cepat. Sejarah mengajarkan, pandemi Flu di dunia setidaknya berakhir dalam waktu minimal satu hingga dua tahun, kita harus berbenah segera.

 

 Oleh Alumni FKM Unsri (ig: ikafkmunsri)

Najmah, SKM, MPH, PhD

Dosen Epidemiologi FKM Unsri/Alumni The University of Melbourne dan Auckland University of Technology

Yeni, SKM, MKM

Dosen Biostatistika FKM Unsri/Alumni Universitas Indonesia

Fison Hepiman, SKM, MIH

BTKLPP Kelas I Palembang/Alumni Vrije Universiteit (KIT) Belanda

Email: najem240783@yahoo.com(ig najmah.usman.7)/yenidoanks88@gmail.com/ hepimanfison@gmail.com

Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

0 comments