oleh

Realitas Petani Kopi Pagaralam, Hidup Prihatin Hingga Terpaksa Berhutang

-Sosial , dibaca 892 x

LAJU SUMSEL, PAGARALAM - Memilih menjadi petani kopi di kota Pagaralam berarti sudah siap untuk hidup prihatin dan seadanya. Betapa tidak, profesi sebagai petani kopi di wilayah ini merupakan mayoritas mata pencarian masyarakatnya selain berladang atau pedagang sehingga kopi lah yang menjadi penggerak utama roda perekonomian kota yang sudah berumur 19 tahun lebih ini.

Sudri (39) misalnya, bapak 3 anak ini telah menjalani sebagai petani dan berkebun kopi bahkan sejak dia masih berstatus lajang hingga sekarang ini, di samping profesi menjadi seorang ojeg di kampungnya.
 
Diceritakannya, kebun kopi yang dia olah berjumlah 2500 batang yang jika dikonversikan dalam luasan kurang lebih 1 hektare lahan. Dimana buah kopi hanya bisa dipetik setahun sekali yang dalam bahasa Pagaralam disebut dengan "musim".
 
Dijelaskan Sudri, kopi yang ditanam mulai dari semai hingga paten perdana memakan waktu 3 sampai 5 tahun dengan perawatan seperti penyiangan maupun pemupukan, dimana panen perdana dan kedua kopi menghasilkan buah yang sangat banyak setelah itu mulai mengalami penurunan selama di kelolah.
 
Jika pada panen perdana yang dalam bahasa daerah disebut dengan istilah "Mukul Agung dan Anak Agung" 1 hektare lahan bisa menghasilkan puluhan ton biji kopi basah yang setelah melalui proses penjemuran selama 2 minggu akan menghasilkan biji kopi yang bisa langsung di jual di pengepul atau "Toukeh".
 
Dalam 1 hektare kebun kopi pada masa "Mukul Agung dan Anak Agung" tersebut lanjut Sudri, dia bisa memperoleh penghasilan bersih dipotong biaya produksi sejak masa semai hingga panen yakni sekitar 20 hingga hingga 25 juta rupiah permusim di mana biaya produksi sejak semai hingga panen diperkirakannya semusim sekitar 5 sampai 9 juta rupiah.
 
Namun demikian sejalan dengan umur tanaman jelas Sudri, produktifitas tanaman kopi pun berangsur menurun jika pada "Mukul Agung dan Anak Agung" pendapatan bisa mencapai 20 juta bersih permusim (tahun-red) maka tahun-tahun berikutnya pendapatan ikut menurun berkisar 10 juta ke bawah belum di potong ongkos produksi.
 
Ditambahkan Sudri, produktifitas tanaman kopi yang kian menurun walau tetap melakulan perawatan rutin tanaman menjadi tantangan bagi dirinya ditambah fluktuasi harga jual juga pengaruh cuaca yang sering kali sangat mempengaruhi hasil panen.
 
Pada masa-masa ini (harga jual rendah /hasil panen sedikit) dikatakan Sudri, para petani kopi Pagaralam sangat merasa terpukul dimana jika hanya memperoleh pendapatan 10 juta kotor permusim maka dipastikannya kehidupan dia dan keluarganya akan menjalani masa sulit untuk 1 tahun ke depannya sebelum masa panen kembali.
 
Masa sulit yang dia dan keluarganya rasakan adalah minimnya pendapatan dari panen kopi yang hanya 10 juta kotor jika dibagi perbulan hanya berkisar 870 ribu perbulan dan perhari kurang lebih hanya mengantongi uang 27 ribu rupiah dari 1 kali panen kopi dalam 1 tahunnya.
 
Uang sebesar 27 ribu rupiah perhari ini tentulah jauh dari kata cukup, dengan demikian Sudri pun harus mencari pekerjaan sampingan mulai dari menjadi tukang ojeg, buruh tukang atau pekerjaan serabutan lainnya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
 
Berhutang Pada Toukeh
 
Menjadi petani kopi selain resiko pendapatan minim pas-pasan juga sering kali harus menanggung hutang kepada pihak lain.
 
Pengepul kopi atau disebut Toukeh lah yang menjadi andalan para petani menjadi tempat berhutang jika ada kebutuhan yang tidak bisa terelakkan, mulai dari biaya sekolah anak bahkan untuk makan sehari-hari pun tak jarang terpaksa berhutang kepada para Toukeh dengan perjanjian hasil panen berikutnya tidak boleh dijual pada Toukeh lain selain pada tempat berhutang.
 
Jerat hutang ini sepertinya tidak akan pernah lepas dari kehidupan dan profesi petani kopi atau profesi serupa lainnya di kota Pagaralam. Bagaimana tidak, sejak mengolah lahan kebunnya, biaya perawatan tanaman hingga upah buruh panen. Para petani kopi yang tidak punya modal tentu saja harus berhutang agar jadwal panennya tidak terganggu ditambah biaya kebutuhan rutin yang semakin membuat para petani tak bisa mengelak dari jerat hutang ini.
 
Seperti Sudri, biaya menyekolahkan 2 anaknya pada tahun ajaran baru kemarin membuatnya harus berhutang kembali ke Toukeh langganannya yang jumlahnya sudah mencapai jutaan rupiah yang wajib dia bayar dengan hasil panen berikutnya.
 
Hal ini tentu saja semakin membuat kehidupan Sudri dan ratusan bahkan mungkin ribuan petani kopi seperti dirinya di kota Pagaralam masih sangat jauh dari kata sejahtera.
 
Realitas jauh dari kata sejahtera ini sudah menjadi tradisi masyarakat kota Pagaralam yang mayoritas roda ekonominya ditopang oleh biji kopi yang tetap tak bisa ditinggalkan meski tak bisa diandalkan.
 
Pasar-Pasar Sepi Pembeli
 
Belum adanya jasa maupun industri di kota Pagaralam dan kultur masyarakatnya yang memang mayoritas petani membuat pergerakan roda ekonomi kota Pagaralam sangat bergantung pada produktifitas kopi para petani.
 
Hal ini dapat dibuktikan dengan sepinya sentra-sentra perdagangan selama musim petik kopi belum berlangsung yang membuat daya beli masyarakat secara umum menurun tajam.
 
Maryati (47) contohnya, pedagang ikan segar ini harus merasakan dagangannya sepi pembeli lantaran masa panen kopi yang masih lama lagi.
 
Jika pada masa panen hingga 2 bulan setelahnya Maryati sanggup menjual puluhan kilo ikan segar perhari, mama masa sekarang bisa terjual 5 kilo ikan nila sehari itu pun sudah berkah buatnya.
 
Tak cuma Maryati, hampir semua pelaku perdagangan di kota Pagaralam mulai dari penjual sembako hingga pakaian merasakan hal yang sama bahkan ada sebagian pedagang menetap (toko) yang harus menghutangkan barang dagangannya kepihak lain yang biasanya akan dibayar pada saat pasar ramai kembali yakni pada masa panen kopi.
 
Memang janggal rasanya dengan status kota tingkat II yang sudah berumur 19 tahun, namun ekonomi rakyatnya masih sama seperti puluhan tahun lalu.
 
Namun inilah realitanya masyarakat kopi Pagaralam.
 
Penulis: Taufik Hidayat
 
Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

1 comments

  1. Gambar Gravatar Zazly berkata:

    Sumber berita yg cukup bagus..Menambah wawasan bagi kmi si pembaca.. media online yg sangat inspiratif.. TERIMAKASIH untuk media laju sumsel. kami tunggu berita ter update lainya.. SUKSES untuk media laju sumsel