Oleh:
Ahmad Muhaimin, M.Si
(Dosen Komunikasi FISIP UIN Raden Fatah, Direktur IPO Institute Reseach & Consulting)
Opini -- Percakapan di ruang publik seputar Pilkada di tujuh kabupaten penyelenggara pilkada serentak Sumatera Selatan mendatang mulai ramai. Pasca kesepatakan oleh Pemerintah, DPR RI dan KPU untuk melanjutkan tahapan pilkada dan menetapkan pelaksanaan pencoblosan 9 Desember 2020 di tengah Pandemi Covid-19 dinilai banyak pihak memiliki waktu persiapan yang terbilang sangat singkat.
Yang paling merasakan singkatnya waktu tersebut adalah bakal calon pengantin politikknya. Apalagi jika belum menuntaskan urusan pinang-meminang, makin menumpuk kegelisahan.
Di lapangan ada bakal calon kepala daerah terlihat begitu mudah memperoleh rekomendasi atau dukungan dari parpol, di lain pihak ada yang terseok-seok. Tampak sulit memperoleh dukungan partai meskipun berstatus sebagai petahana.
Hal tersebut memang menjadi dilema bagi pemilik hasrat kuasa. Apalagi dalam sistem pemilu kita ada dua terminologi pencalonan yang harus dipenuhi dengan baik oleh setiap bakal calon kepada daerah dalam proses pencalonan.
Pertama, persyaratan calon. Kedua, persyaratan pencalonan. Persyaratan calon merujuk pada kriteria bakal calon seperti pendidikan, usia, kesehatan, status putusan hukum, tidak pailit dan menyerahkan daftar kekayaan pribadi. Pada aspek ini siapa saja dari kita mungkin bisa lolos.
Aspek kedua adalah persyaratan pencalonan yang merujuk pada bagaimana mekanisme pencalonan seseorang, upaya ini hanya bisa dilakukan dengan jalur dukungan partai politik atau dengan jalur perseorangan.
Bakal calon harus diusung oleh partai politik atau gabungan partai (koalisi) politik yang memiliki akumulasi 20 persen jumlah kursi DPRD atau akumulasi 25 persen suara pada pemilu terakhir dan memperoleh kursi di DPRD. Jika ia menempuh jalur perseorangan, maka harus memenuhi dukungan sejumlah persentase tertentu dari jumlah penduduk daerah yang menyelenggarakan pilkada (lih. PKPU No. 3 Tahun 2017 Pasal 9-10).
Dari kedua pola persyaratan pencalonan tersebut, jalur partai yang lebih berat. Tidak semua bakal calon bisa melewatinya. Maksimal dalam satu laga paling banyak hanya akan terakomodir 4 bakal calon saja yang lolos. Bahkan ada hanya satu bakal calon. Alih-alih aksi borong partai, justru secara pragmatis partai-partailah yang berduyun merapat ke salah satu bakal calon dengan sendirinya.
Situasi seperti ini paling mendebarkan. Tak hanya bagi bakal calon. Keluarga, kolega, tim sukses, calon konstituen, semua menunggu kepastian dan ‘harap-harap cemas’ apakah yang di-jagokan dapat memenuhi dukungan partai untuk berlaga di pilkada atau justru mengubur harapan.
Fenomena tersebut menjadi tontonan menarik. Terlebih karena semakin dekat jelang pendaftaran calon semakin situasi ini mencuri perhatian. Secara simbolik, di benak publik ada banyak pesan yang syarat makna dari fenomena dukungan partai kepada bakal calon. Bukan saja terletak pada bisa atau tidaknya lolos sebagai calon.
Ada yang lebih penting daripada itu. Yakni persoalan kapasitas dan kapabilitas bakal calon yang dipertaruhkan, dipertontonkan. Menyangkut harga diri (self esteem).
Kunci lolos sebagai calon kepala daerah adalah keseriusan. Jika bakal calon benar-benar serius mengikuti kontestasi lima tahunan ini, sudah barang tentu ia dengan totalitas (all out) mengerahkan segenap kemampuan demi tiket lolos menyandang predikat calon kepala daerah.
Piawai Komunikasi Politik, bukan Semata Elektabilitas
Banyaknya dukungan partai kepada salah satu bakal calon bukan hanya memuluskan langkah menjadi calon, melainkan juga akan semakin menguatkan representasi citra positif si bakal calon di benak publik. Alih-alih mendapatkan tudingan politik transaksional, justru yang terkesan adalah representasi kepiawaian bakal calon dalam komunikasi politiknya baik. Ini yang paling penting.
Ada anggapan faktor elektabilitas menjadi magnet utama dukungan partai. Memang iya, tetapi bukan yang paling utama. Hipotesisnya memperlihatkan bahwa yang paling utama adalah komunikasi politiknya. Elektabilitas secara strategis bisa dibentuk seiring perjalanan waktu pada saat masuk tahapan kampanye. Faktanya ada bakal calon yang memiliki elektabilitas cukup tinggi namun sulit mendapatkan dukungan partai.
Sebut saja Ferry Antoni, kader Partai Golkar yang juga balon Bupati OKU Timur yang sedang menjabat Wakil Bupati terlihat sulit mengumpulkan dukungan partai meski popularitas dan elektabilitas cukup baik dan punya peluang menang. Justru Lanosin yang tadinya diragukan banyak pihak malah silih berganti mendapatkan rekomendasi dukungan partai politik.
Sang petahana pun (incumbent) tidak menjadi jaminan punya daya tarik untuk membuat partai mendukungnya.
Misalnya di Pilkada Ogan Ilir, petahana Ilyas Panji Alam juga terkesan sepi dukungan. Meskipun pas-pasan hanya mengantongi 20 persen DPRD Ogan Ilir (8 kursi) terdiri dari partai sendiri PDIP 7 kursi dan PBB 1 kursi. Sementara lawan politiknya AW Noviadi sudah hampir mengumpulkan 50 persen kursi DPRD, terdiri dari Nasdem (5 kursi), Perindo (2 kursi), PPP (4 kursi), Gerindra (1 kursi), PKS (1 kursi), PKB (2 kursi).
Analisis dari pemberitaan media massa yang berkembang akan menyusul akan condong kepada Ovi adalah Demokrat (2 kursi), Berkarya (1 kursi), PAN (4 kursi), Hanura (2 kursi). Sementara Golkar masih tarik ulur. Jika pun akhirnya Golkar merekomendasikan Noviadi, itu artinya Ovi meraih dukungan 80 persen kursi DPRD dan pukulan telak bagi petahana.
Petahana dengan predikat terbaik dalam hal komunikasi politik adalah Heri Amalindo. Bagi Heri tak sulit menarik partai untuk mendukungnya. Hingga saat ini, dukungan pencalonannya sudah cukup. Bahkan Heri bisa membuat Demokrat dan Golkar ragu mengusung kader mereka sebagai penantang.
Heri juga terbilang sukses melakukan komunikasi politik dengan konstituennya di PALI. Indikatornya terekam dalam survei yang dilakukan oleh IPO Institute, tingkat kepuasan masyarakt PALI terhadap kinerja Heri Amalindo menyentuh angka 89% dan dengan elektabilitas 69%. Buah dari mampu mengakomodir semua kepentingan rakyat.
Citra piawai dalam komunikasi politik dengan berbagai macam bentuk diplomasinya akan melahirkan citra kekuatan (power image) yang solid di benak publik dan rival politik.
Indikatornya adalah banyaknya dukungan parpol. Ini sudah separuh kemenangan. Hal Ini bisa membuat bakal calon dan semua elemen pendukung makin percaya diri. Sementara di pihak lawan politik dan para pendukungnya akan kehilangan kepercayaan diri sebelum berlaga.
Bakal calon kepala daerah harus menghindari kesan tergopoh-gopoh jelang menit terakhir pendaftaran. Ini risikonya tinggi. Situasi seperti ini bukan lagi kesamaan pandangan politik (visi misi) yang dikedepankan, melainkan dialog yang berujung pada mahar politik. Dampak lain dari aksi menit terakhir yang krusial (crucial last minute) adalah pecahnya konsentrasi dalam menata langkah-langkah strategis dalam proses pemenagan pilkada.
Koalisi hanya akan melahirkan kesepakatan prematur dan lebih banyak missed communication.
Win win solution vs nak kendak dewek
Seni tertinggi dalam komunikasi politik tercermin dalam pola lobi dan negosiasi aktor politik.
Dalam lobi dan negosiasi harus menghasilkan kesepakatan yang membuat kepentingan semua pihak terakomodir dengan baik. Dengan kata lain, semua harus merasa sama-sama menang, sudah tidak berlaku“nak kendak dewek, nak menang dewek”.
Sejatinya partai politik terbentuk dari akumulasi berbagai kepentingan. Kepentingan tersebut bisa berupa cita-cita (visi misi) atau ideologi suatu kelompok atau golongan.
Dalam konteks pilkada, selain dari jalur perseorangan pasti harus melalui dukungan partai atau gabungan partai (koalisi).
Realitas komunikasi politik akan makin kompleks. Jika ada 3 partai koalisi, maka akan ada 3 kepentingan.
Beragam kepentingan tersebut akan dilebur dalam hubungan yang membentuk pola koalisi yang menjadi identitas calon. Sudah tidak ada lagi warna partai masing-masing, yang ada adalah satu cita-cita merebut kemenangan di bawah komando aktor utama. Ini membutuhkan keterampilan komunikasi politik yang sangat baik.
Menjadikan semua partai (koalisi) merasa puas berada dalam gerbong koalisi adalah tugas aktor utama (bakal calon kepala daerah), dan itu hanya bisa dilakukan oleh aktor yang memiliki kemampuan komunikasi politik yang baik.
Komentar