oleh

Post 1,5 Tahun Pandemi COVID-19: Fenomena Pandemic Fatigue hingga Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap COVID-19

-Opini, dibaca 1092 x

Oleh: Emilia Annisa, Lusi Rahmayani, dan Windy Nia Cahyani

Mahasiswa Peminatan Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat UNSRI
Email: emilia7annisa@gmail.com
 
Penambahan kasus positif COVID-19 dan kenaikan jumlah kasus meninggal akibat COVID-19 disetiap hari, masih terjadi hingga saat ini. Tidakkah cukup kedua hal tersebut menjadi bukti untuk masyarakat percaya dengan keberadaan COVID-19?
 
Satu setengah tahun sudah pandemi COVID-19 berlangsung di Indonesia, sejak kasus positif pertama yang terkonfirmasi pada tanggal 2 Maret 2020 di kawasan Depok, Jawa Barat. Dari data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia per Jumat (1/10) tahun 2021 tercatat penambahan kasus positif COVID-19 sebanyak 1.624 kasus dan penambahan kasus meninggal sebanyak 87 kasus. Per 1 Oktober 2021,  diketahui bahwa 4.216.728 masyarakat Indonesia telah atau masih mengalami COVID-19 dan 142.026 diantaranya meninggal dunia akibat COVID-19 atau dengan tingkat kematian fatal sekitar  3.4 % dan tingkat kesembuhan sudah mencapai 95 %.
 
Terdapat angka kasus aktif COVID-19 di Indonesia yang masih terhitung tinggi, yakni sebanyak 34.867 kasus per Jumat (1/10) tahun 2021. Hanya saja, penambahan jumlah kasus per harinya tidak setinggi bulan-bulan Juni-Juli 2021, kasus baru mencapai 30.000 hingga 50.000 setiap hari, sejak ada varian baru delta dan varian lainnya dengan tingkat penularan tinggi. Terbukti, dilansir dari laman Instagram Kemenkes RI, berdasarkan penilaian John Hopkins University pada 12 September 2021 waktu London, Indonesia menjadi salah satu terbaik di Dunia. Apresiasi ini ditujukan karena Indonesia berhasil menurunkan kasus COVID-19 sebesar 58% dalam kurun waktu 2 minggu.
 
Walaupun perkembangan kasus COVID-19 terus berlangsung, tetap masih bergeming dikepala setiap individu untuk memikirkan “Apakah aku harus percaya dengan COVID-19?”. 
 
Hal ini menyebabkan Indonesia sempat mengalami kenaikan jumlah kasus positif COVID-19 yang tinggi di bulan Juni - Agustus 2021. Tak sedikit dari mereka memutuskan untuk tidak percaya bahwa COVID-19 itu ada, mengapa demikian? Berdasarkan analisis kami terdapat beberapa faktor penyebab ketidakpercayaan masyarakat Indonesia terhadap COVID-19 yakni misinformasi terkait COVID-19, rasa bosan akan pandemi, dan inkonsistensi Kebijakan Pemerintah.
 
Misinformasi terkait COVID-19
 
"Apakah orang-orang yang dikubur dengan tata cara atau protokol kesehatan itu meninggal dunia karena virus corona, dr Lois menjawab bukan karena virus. "Interaksi antar obat. Kalau buka data di rumah sakit, itu pemberian obatnya lebih dari enam macam," kata dr Lois. (Dikutip dari Kompas.com)
 
Media sosial menjadi sarana yang tepat untuk mengakses dan berbagi informasi terkait perkembangan dan pola kehidupan di masa pandemi ini. Banyak hal-hal positif yang didapat dan tentunya banyak juga oknum-oknum yang memanfaatkan keadaan ini sebagai bahan untuk menyebarluaskan berita palsu atau kita kenal dengan sebutan hoax. Oleh sebab itu, Sejak diumumkan kemunculan virus  SARS-COV-2 atau yang lebih dikenal dengan Virus Corona sejak maret 2019 beradarnya hoax terkait COVID-19 sudah akrab ditelinga masyarakat.
 
Misinformasi atau kesalahan memahami informsi terkait COVID-19 dan berita aneh semakin hari semakin dipercaya oleh masyarakat yang mana didalamnya disertakan bukti yang membuat masyarakat semakin mempercayai berita HOAX tersebut. Padahal, jikalau ditelaah dengan baik memang virus COVID-19 nyata, ada, dan masih ada. Salah satu buktinya ialah angka COVID-19 sekarang masih tinggi ditambah juga dengan masih terjadinya penambahan jumlah kasus di setiap hari.
 
Ditingkat internasional, masyarakat mempercayai bahwasannya COVID-19 bukan penyakit, melainkan senjata yang sudah disiapkan oleh China dari laboratorium bocor. Bermula dari postingan facebook yang viral dan mengundang banyak kontra di masyarakat. Faktanya postingan tersebut merupakan pelintiran dari sebuah media The Washington Times, surat kabar harian yang diterbitkan di Washington DC, Amerika Serikat. Akibat virus corona ini bermula dari sebuah pasar di kota Wulan, China, menyebabkan hampir seluruh masyarakat global kehilangan respect ke negara china. Apalagi baru-baru ini muncul spekulasi adanya virus varian baru di china yang akan menggemparkan dunia setelah COVID-19. Padahal sudah diselidiki oleh WHO bahwa informasi-informasi tersebut tidak benar.
 
Beredarnya hoax yang cukup menggemparkan terjadi pada 20 Juli 2020, Jerinx, seorang publik figur yang viral karena berbagi pendapat mengenai  opini terhadap COVID-19. Ia menganggap bahwa COVID-19 adalah konspirasi. 
 
Jerinx merupakan orang yang cukup dikenal banyak orang dan mengejutkan karena menyebarkan opini konspirasi terhadap COVID-19. Artinya, Jerinx memiliki pengaruh besar terhadap kasus COVID-19 saat ini, yang mana jika kasus hoax terus diedarkan ini bisa berdampak pada masyarakat yang percaya Jerinx, padahal Jerinx sendiri masih tidak paham dan mengerti lebih dalam mengenai COVID-19. Padahal, hoax sangat berpengaruh  dalam pemberantasan COVID-19 yang berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap semua hal yang berkaitan dengan COVID-19.
 
Faktanya, dari kasus Jerinx, diketahui bahwa Hoax tidak memandang dari mana dia berasal. Pada pandemi COVID-19 sekarang banyak sekali konten-konten dunia artis yang sering ditampilkan dan membuat info-info penting mengenai COVID-19 menjadi tidak terfokus dan terbelakang. Sampai saat sekarang pun pada kebijakan PPKM masih banyak beredar hoax oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. 
 
Selain kasus Jerinx, Kasus Dokter Lois yang anti masker dan tidak percaya COVID-19 juga viral. Dokter Lois yang merupakan alumni salah satu kampus swasta di Indonesia 2004 Pada 11 Juli 2021 viral dan menghebohkan Indonesia karena ketidakpercayaan beliau terhadap COVID-19 melalui steatment "Kasus meninggalnya pasien COVID-19 bukan karena virusnya tetapi karena keracunan obat-obatan" dan beliau juga menolak sangat keras mengenai peraturan protokol kesehatan pemakaian masker.
 
Pernyataan tersebut menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat Indonesia.  Bagaimana bisa bahkan seorang dokter pun tidak mempercayai adanya COVID-19?. Terlebih latar belakang pendidikan Lois yang seorang dokter dinilai masyarakat sebagai orang yang ahli dan tahu mengenai info COVID-19. Tentu saja ini menimbulkan banyak kontra dan potensi lebih tingginya ketidakpercayaan masyarakat. Tidak menutup kemungkinan, masyarakat yang sudah percaya dan menerapkan protokol kesehatan secara rutin, namun ketika melihat berita dokter ini mereka ragu dan kembali pada kebiasaan lama mengabaikan protokol kesehatan.
 
Dengan demikian, dari Jerinx dan Dokter Lois diketahui bahwa public figur dan petugas kesehatan memiliki kepercayaan dari masyarakat untuk menginfokan hal yang benar dan valid. Apabila hal yang disampaikan mereka tidak benar maka masyarakat akan terpengaruh mengikuti saran tidak benar tersebut.
 
Pandemic Fatigue atau Bosan akan Pandemi
 
"Kalau COVID-19 sendiri, awalnya aku percaya, tapi lama kelamaan aku berpikir 'Kok COVID-19 sepertinya buatan manusia ya'. Kesimpulan itu muncul setelah aku banyak cari tahu lewat film, podcast, vlog, artikel dan sebagainya," kata DA (dikutip dari Merdeka.com)
 
Melansir laman WHO, pandemic fatigue ialah munculnya demotivasi untuk mengikuti berbagai langkah perlindungan yang direkomendasikan. Masyarakat mulai mengurangi upaya dalam melindungi diri dan berkurangnya kekhawatiran terhadap akibat virus.
 
Profesor Departemen Ilmu Psikiatri dan Perilaku Universitas California, Elissa Epel, mengatakan bahwa pandemic fatigue adalah respons yang normal terhadap apa yang terjadi, karena disebabkan oleh adanya banyak hal yang menyebabkan kelelahan pandemi terjadi, seperti dikarenakan oleh dampak pandemi yang menyebabkan kehilangan pekerjaan ataupun mengalami tekanan finansial. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan bahwa sangat sulit memahami yang dihadapi oleh orang-orang, tetapi setiap orang harus tetap waspada. Karena, kelelahan karena pandemi ini adalah perasaan yang dirasakan oleh banyak orang.
 
Sebenarnya banyak juga masyarakat yang sudah sangat percaya bahwa COVID-19 ada. Namun, rasa percaya yang sudah dipupuk sejak adanya COVID-19 tersebut perlahan luntur sejalan dengan pandemi yang tak ada estimasi untuk berhenti. Masyarakat berpotensi mengalami “Pandemic Fatique” atau kelelahan terhadap Pandemi, dimana munculnya rasa stress akibat banyaknya tekanan yang kuat untuk melakukan perubahan, tidak bisa melangsungkan hidup seperti sebelumnya, dan memikirkan kapan selesainya pandemi ini.
 
Hal ini berpotensi mengganggu kesehatan mental masyarakat hingga masyarakat merasa “Percaya ataupun tidak dengan COVID-19 sepertinya tidak berngaruh dengan keberlangsungan pandemi”. Dengan rasa percaya masyarakat memudar, akan mulai timbul tidak peduli lagi dengan dirinya yang akan terkena COVID-19 atau tidak. Selain itu, Masyarakat yang  sudah mulai jenuh dengan kehidupan #dirumahaja tanpa adanya refreshing. Bahkan, saat kebijakan PPKM masih berlangsung, banyak yang masih enggan melakukan protokol kesehatan sesuai anjuran pemerintah maka tidak heran jika kasus positif COVID-19 tidak kunjung pulih.
 
Inkonsistensi Kebijakan Pemerintah
 
Ketidakpercayaan masyarakat dimasa pandemi bukan hanya terkait keberadaan COVID-19. Adanya Inkosistensi Kebijakan oleh pemerintah menjadi salah satu alasan timbulnya rasa tidak percaya dengan pemerintah, bila pemerintah sudah menginformasikan perkembangan COVID-19.
 
Situasi pandemi saat ini adalah cerminan dari inkonsistensi kebijakan pemerintah menangani COVID-19. Pemerintah seakan terkesan bersikap tidak tegas dalam menetapkan berbagai kebijakan atau imbauan yang telah diputuskan. Dalam periode 18 bulan pandemi di Indonesia, kebijakan terus berubah mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB transisi, micro lockdown sampai PPKM mikro, darurat dan level 1-4. 
 
Hal tersebut bukan kali pertama pemerintah terkesan tidak konsisten atau tidak tegas dalam menetapkan sebuah kebijakan. Bukti lainnya, adanya kebijakan larangan mudik, penerbangan domestik, melarang kedatangan orang asing, dan PSBB. Banyak kebijakan yang dirumuskan pemerintah selama pandemi COVID-19, namun tidak berdasarkan kebutuhan nyata masyarakat. Dengan begitu, masyarakat mempertanyakan kinerja pemerintah dianggap membingungkan dikarenakan belum terbukti konsisten untuk mengurangi jumlah kasus positif COVID-19. Sehingga, serangkaian inkonsistensi yang ditangkap publik dari kebijakan pemerintah selama menangani pandemi COVID-19 justru dinilai berpeluang menjadi 'senjata makan tuan' bagi pemerintah.
 
Gambar 1: Determinan Sosial dan Kesehatan Fenomena Pandemi Fatigue hingga ketidakpercayaan terhadap COVID-19 (Dikembangkan oleh Emilia Annisa, Lusi Rahmayani, dan Windy Nia Cahyani, 2021)
 
Epidemiologi Sosial: Determinan Sosial dan Kesehatan
 
Sulit rasanya meyakinkan banyak orang untuk percaya bahwa COVID-19 itu ada dan nyata. Terlebih dari setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda. Hal ini berkaitan dengan keberadaan Social Determinants of Health atau determinan sosial dan kesehatan yang juga menjadi dasar betapa sulitnya membangun kepercayaan masyarakat. Lalu, faktor apa saja yang menjad Social Determinants of Health pada kasus tingginya COVID-19 setlah 1,5 tahun pandemi berjalan, akibat ketidakpercayaan masyarakat?.
 
Faktor Individu: Kurangnya tingkat pengetahuan masyarakat akan mempengaruhi kondisi masyarakat mengenai keberadaan COVID-19. Hal ini terjadi disebabkan oleh masyarakat tidak terbiasa dengan literasi COVID-19. Kurangnya literasi khususnya budaya literasi COVID-19 dinilai menjadi salah satu penyebab mengapa masyarakat tidak percaya akan keberadaan COVID-19 dan mengganggap bahwa COVID-19 sebagai alat politik dan ekonomi bagi elit global. Kemudian, kurangnya memiliki kebiasaan untuk melakukan check dan re-check terhadap suatu informasi yang diperoleh, baik dari orang terdekat maupun informasi yang beredar di internet dan sosial media.
 
Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah juga menjadi faktor penghambat individu tidak percaya akan keberadaan COVID. Masyarakat dengan pendidikan yang rendah berpotensi untuk termakan berita hoax, tidak sadar akan pentingnya melindungi diri dari sebaran COVID-19, termasuk sulitnya membedakan apa yang harus dicegah dan apa yang harus dihindari dalam upaya pencegahan dan penanganan COVID-19 yang akan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat pada masa pandemi ini.
 
Banyak masyarakat awam yang masih mempertanyakan apa itu COVID-19, dan segala bentuk upaya dalam penanganannya. Berdasarkan data dari LSI (Lembaga Survei Indonesia) sudah satu tahun lebih COVID-19 melanda Indonesia, masih ada sebagian masyarakat yang tidak tahu mengenai COVID-19. Tepatnya 3,9% dari 1200 responden tidak mengetahui sedikitpun mengenai COVID-19 dan 29,3% hanya mengetahui sedikit info mengenai COVID-19. Padahal, hampir sebagian mereka memiliki handphone yang seharusnya dapat menjadi media untuk mencari tahu segala informasi mengenai COVID-19.
 
Faktor Sosial Ekonomi: Masih banyak masyarakat yang belum melakukan apa yang sudah dihimbau oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan kondisi sosial ekonomi yang kurang mendukung. Masyarakat yang memiliki latar belakang sosial ekonomi akan memiliki pengetahuan dan perilaku yang berbeda pula. Rendahnya pendapatan dan kurang tersalurkannya bantuan dari pemerintah yang akan membuat masyarakat menganggap bahwa COVID-19 hanyalah politik bisnis obat.
 
Faktor Sosial Budaya: Lingkungan masyarakat berpengaruh pada tingkat kepercayaannya. Masyarakat yang tinggal dilingkungan dengan mayoritas penduduknya mengabaikan COVID-19 juga percaya serta mendukung berita hoax yang muncul di lingkungan tersebut akan lebih mudah terhasut untuk tidak percaya dengan apapun yang berkaitan dengan COVID-19. Terutama, bila dilingkungan terdekatnya tidak ada masyarakat yang berpengalaman terpapar COVID-19 langsung. Selain itu, dari faktor sosial budaya ini akan ada situasi dimana masyarakat yang tidak memiliki keluarga ataupun orang terdekat sebagai tenaga kesehatan akan cenderung tidak percaya COVID-19, karena tidak ada pihak yang membimbing tentang COVID-19 dan bahayanya secara baik.
 
Faktor Pelayanan Kesehatan: Seperti halnya minim akses pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan untuk COVID-19 yang terjadi pada daerah 3T (Terluar, Terpencil, dan Tertinggal). Salah satunya, daerah Papua Barat, masyarakat yang berada pada daerah 3T di Papua Barat mengalami sulit akses pelayanan kesehatan karena kurangnya tenaga kesehatan.
 
Dari pembahasan sejak awal selalu ditekankan pada Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap COVID-19. Mengapa demikian? Rasa percaya yang tumbuh akan berpengaruh pada perilaku yang ditimbulkan. Termasuk rasa percaya terhadap COVID-19. Mereka yang percaya dengan COVID-19 cenderung menaati protokol kesehatan, sehingga dapat menekan angka penularan COVID-19, namun sebaliknya, masyarakat yang tidak percaya dengan COVID-19, menjadi salah satu penghambat untuk mengontrol COVID-19 di negri tercinta. Kasus baru COVID-19 turun sekarang, bukan berarti kita tidak semakin waspada, bukan.
 
Editor: Najmah, Nurmalia Ermi dan Karni
 
Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

0 comments