Oleh: Bagas Pratama
Mahasiswa Unsri/Pengurus BEM
Bulan suci Ramadhan telah berlalu, sayup-sayup, gema takbir Idul Fitri pun sudah tak lagi terdengar. Umat Muslim telah selesai menjalani ibadah suci satu bulan penuh dengan beragam corak dan pernak-pernik hiasan ibadah sunnahnya. Penantian sebelas bulan lamanya menjadikan Ramadhan semakin spesial di hati para muslim sejati. Kini, penantian itu dimulai lagi, menghitung mundur satu tahun kedepan sembari menyemai harap semoga masih bersua Ramadhan karim nan berkah berikutnya.
Ada yang berbeda dari Ramadhan 1441 H/2020 M kali ini. Dunia dilanda teror oleh makhluk Allah yang tak kasat mata, berukuran hanya 100 Nanometer (nm). Bukan main, ratusan nyawa telah direnggut melalui perantara Virus Corona atau yang jika terinfeksi ke tubuh disebut Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Aktivitas peribadatan terpaksa ditiadakan di tempat-tempat umum, sehingga ciri khas Lebaran dimana umat muslim melaksanakan solat Idul Fitri di tengah lapangan luas beramai-ramai harus dtiadakan demi memutus mata rantai penyebaran virus. Namun, kita harus tetap berprasangka baik, tentunya ada hikmah tersembunyi di balik ini semua.
Terbaru, saat masih menyesuaikan diri dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemerintah kini mulai menggalakkan anjuran New Normal (keadaan normal yang baru). New sendiri artinya baru, tapi makna sesungguhnya adalah memperbaharui/memperbaiki. Normal artinya tidak cacat atau menyimpang, namun makna sesungguhnya adalah berjalan sesuai Sunnatullah atau Law of Nature. Presiden Joko Widodo juga mengeluarkan statement saatnya berdamai dengan Corona. Tentu itu semua merupakan sinyal bahwa masyarakat harus bersiap beradaptasi dengan keadaan baru pasca status pandemi, dan meninggalkan kebiasaan lama yang dianggap normal.
Bagi muslim, New normal ini tidak hanya berlaku untuk penyesuaian pola hidup baru pasca status pandemi, tapi juga amat sangat diperlukan penerapannya dalam kacamata ibadah. Sebulan penuh kita melewati masa-masa berpuasa, memuasai diri, dan belajar menguasai diri sendiri. Makan yang dibatasi, bangun pagi-pagi sekali untuk santap sahur, kewajiban salat lima waktu ditambah sunnah tarawih, keutamaan membaca Al Quran, serta menahan marah dan perbuatan tercela.
Namun, ketaqwaan yang sudah terbentuk selama Ramadhan ini jangan sampai menjadi ketaatan musiman, lalu tereduksi dan membuat kita kembali terjerembab dalam kemaksiatan sebelas bulan lamanya.
Apa pun yang kita pikirkan dan lakukan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Menurut University College London, dibutuhkan rata-rata 66 hari untuk membentuk kebiasaan baru. Masa Ramadhan hanyalah 30 hari, tidak cukup untuk membentuk kebiasaan baru. Setelah Ramadhan, sangat rentan perayaan Idul Fitri malah cenderung dianggap pesta karena hingar bingarnya. Makanan berhamburan, pakaian serba baru dan modis, bahkan pamer pasangan sepertinya menjadi ciri khas ketika silaturahmi lebaran.
Akhirnya, ghirah yang sudah dijalani selama satu bulan lenyap begitu saja di hari pertama dan kedua lebaran dan seterusnya. Tak lagi ada semangat shalat lima waktu, tak lagi nyala cahaya Al Quran di hati, tak lagi bangun fajar untuk menunaikan tahajud sembari menunggu sahur, tak lagi merasa bersalah untuk melampiaskan amarah karena dosanya dianggap kecil, dan tak lagi yang lain-lainnya. Semuanya hilang, terasa hambar, hati kembali mengeras disebabkan makan berlemak dan minum bersoda terlalu banyak. Padahal, semestinya Muslim meneruskan kebiasaan yang sudah terbentuk pasca Ramadhan.
Jika diandaikan grafik, sumbu datar (X) diibaratkan dimensi waktu, dibagi menjadi Pra Ramadhan (X1) – Ramadhan (X2) – Pasca Ramadhan (X3). Sumbu tegak (Y) adalah kebiasaan diri dan ketaqwaan kita. Anggap saja normal versi pra Ramadhan (X1) adalah ibadah kita pada tingkat yang terendah, yang hanya sebatas salat lima waktu atau bahkan tak salat sama sekali, membaca Al Quran selembar perhari, makan minum berlebihan, salat tahajud dan dhuha yang selalu terlewatkan, dan marah menjadi kebiasaan.
Saat masa Ramadhan (X2), mulailah meningkat ketaqwaan (Y) kita, semua sifat buruk kita terkurung, terpaksa dipasung. Kita rutinkan salat lima waktu, bangun pagi untuk santap sahur dan tahajud, merutinkan salat dhuha, menghatamkan Al Quran minimal satu juz perhari, menahan amarah dan perbuatan tercela.
Saat fase Pasca Ramadhan (X3) mestinya sumbu Y (ketaqwaan) tetap dipertahankan berada di puncaknya, dengan kata lain tetaplah bertaqwa dan istiqomah berbuat baik seolah Ramadhan belum usai. Tetaplah bangun pagi untuk tahajud, salat dhuha, menghatamkan Quran, menahan amarah dan perbuatan buruk, serta membiasakan diri dengan puasa-puasa sunnah seperti puasa syawal, senin-kamis, puasa Daud dan puasa Ayyamul bidh.
Kemudian, kebiasaan buruk jangan dibebaskan lagi menggerogoti hati kita. Biarkan ia terpasung selamanya dan kita bersiap menjalani kehidupan normal yang baru sesuai Sunnatullah, menjadi Alumni Ramadhan dan mencetak diri dalam bentuk yang baru. Bukankah orang yang merugi adalah jika hari ini tak ada bedanya dengan hari kemarin? Maka syukurilah, diri telah dipertemukan Ramadhan dan mengizinkan kita mengubah watak lama menjadi new normal dan menjadi lebih baik dari kemarin.
Jika terus menerus dilaksanakan tanpa putus, niscaya akan menjadi kebiasaan, serta akan menjadi karakter baru, menjadi new normal versi muslim, yang meninggalkan kebiasaan lama, menyambut versi baru diri kita, dan benar-benar menjadikan diri sesuai makna esensial Idul Fitri, yakni mengembalikan manusia kepada fitrahnya, sebagai sang Abdi, hamba Allah SWT yang penuh dengan ketaatan dan ketaqwaan demi menggapai Ridho-Nya.
Taqaballahu minna waminkum, taqabbal ya kariim.
Komentar