oleh

Mudik ketika Pandemi Korona

-Opini, dibaca 1278 x

Penulis:

Najmah, SKM, MPH, PhD
Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya
Doktor di Auckland University of Technology
 

Tanggal 20 Maret 2020, Aku harus kembali ke Tanah air setelah enam minggu lamanya berada kembali di Auckland, Selandia baru untuk keperluan ujian final studi doktoral ku di bidang Kesehatan Masyarakat dan Epidemiologi Sosial. Perjalanan pulang ini terasa lebih berat dan mencekam dibandingkan perjalananku di awal saat kembali lagi ke negeri kiwi ini, sebutan buat Selandia Baru. Di tengah Pandemi virus Corona dengan kasus yang berkembang cepat.

Untuk kasus di Selandia Baru saja, saat aku datang enam minggu sebelumnya kasus terjangkiti virus ini masih nol atau tidak ada individu yang di nyatakan positif corona, sedangkan sekarang langsung melonjak menjadi 52 kasus tapi belum ada kasus kematian. Sementara dari informasi yang aku peroleh di Australia, negeri tempat aku akan transit penerbangan sudah ada 1023 kasus (tujuh meninggal dunia) dan di Indonesia perbandingan angka kematian dengan kasus positif corona lebih mendebarkan lagi yakni 369 kasus (32 meninggal dunia) per 21 Maret 2020. 
 
Sekarang, per 29 Maret 2020, kasus di Selandia Baru sudah mencapai 476 positif korona dan 1 meninggal dunia, 56 sembuh (https://www.health.govt.nz/our-work/diseases-and-conditions/covid-19-novel-coronavirus/covid-19-current-situation/covid-19-current-cases) dan di negriku, Indonesia, sudah lebih dari 1285 kasus positif korona dan 114 meninggal dunia dan 64 sembuh (https://infeksiemerging.kemkes.go.id/). Dengan kata lain angka kematian fatal akibat korona 0.2 % di Selandia Baru dan 8.9 % di Indonesia, angka yang cukup berbeda signifikan dan persentasi angka kesembuhan 11 % di Selandia Baru dan 5 % di Indonesia. Angka ini bisa menjadi Proksi atau gambaran bagaimana kesiapan sistem kesehatan kita dalam menghadapai Pandemi Korona dibanding dengan Selandia Baru.
 
Pihak pemerintah Selandia baru sendiri aku lihat sangat serius menangani kasus ini, dan juga (sebenarnya) untuk kasus-kasus lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti penembakan Muslim di Christchurch, satu tahun silam (https://thesislink.aut.ac.nz/?p=7864). Satu hari sebelum keberangkatan, supervisor memintaku untuk memeriksa asuransi perjalanan. Pihak beasiswa pun dengan sigap dan taktis mengurus asuransi perjalananku, mereka bahkan menawariku untuk membatalkan perjalanan kembali ke tanah air dan akan mengganti tiket perjalanan yang sudah dipesan jauh-jauh hari. Mereka sangat mengkhawatirkan keselamatanku saat di perjalanan dan juga menunjukkan tanggung jawab mereka atas diri warga Negara lain yang menimba ilmu di negeri mereka. Aku memilih pulang, selain karena tanggung jawabku terhadap anak-anak yang setiap hari menanti kepulanganku, juga karena aku tidak tau berapa lama pandemi ini akan berakhir, sekarang atau akan sangat suit untuk pulang nanti.
 
Selandia Baru sudah menutup negara untuk para pendatang, turis, pekerja, kecuali penduduk Selandia Baru, pada kamis 19 Maret 2020 pukul 11.59, keputusan berat tapi harus dilakukan untuk kesehatan warga Selandia Baru di umumkan oleh Jacinda Ardern, Perdana menteri cerdas yang sangat mereka cintai dan beberapa kali mampu menunjukkan kapabilitas kepemimpinannya dalam melewati kasus besar di Selandia Baru. Dan sekarang, beberapa hari lalu, Selandia Baru sudah menutup semua penerbangan, total Lock Down, dan pemerintah menggelontorkan dana secara besar untuk mensubsidi semua warga Selandia Baru, termasuk pekerja yang datang ke negri ini. Tapi fasilitas penting, seperti apotik, supermarket, layanan kesehatan tetap buka seperti biasa.
 
Bismillah..Indonesia, Aku pulang…..
 
Perlengkapan pencegahanku sudah aku siapkan, masker aku hanya bisa dapatkan di klinik kesehatan di kampus, handsanitizer saku dari kantor beasiswaku, dan kacamata.
 
Penerbangan kali ini, Auckland ke Sydney (3 jam), lalu Sydney ke Jakarta (7 jam) dan Jakarta ke Palembang (50 menit) dalam satu hari dan aku mengamati bagaimana pencegahan korona sunggung sangat intensif di tiga negara dalam 1 hari.
 
Sampai di Bandara Internasional Auckland, suasana wabah pandemik ini sangat terasa. Bandara yang biasanya sangat sibuk dengan arus keluar masuk manusia dan barang dari penjuru dunia terlihat sangat sepi. Selandia baru sendiri telah membatasi jumlah penerbangan dari dan menuju Auckland, sebagai pintu masuk menuju Negara ini. Sementara di pintu masuk lautnya, Pelabuhan pun sudah melarang kapal-kapal pesiar untuk bersandar. Aku lihat di papan informasi penerbangan, Maskapai banyak membatalkan penerbangan mereka. 
 
Maskapai dari Negara China daratan sudah tidak ada di papan pengumuman padahal biasanya maskapai dari negeri tersebut mendominasi papan penerbangan, ada sekitar 8 masakapai dari China daratan beroperasi dari dan menuju Auckland, bisa di bayangkan potensi kehilangan devisa yang di alami selandia baru. Selandia baru sendiri sudah menutup pintu masuk untuk warga yang berasal dari negeri Tirai bambu terkait virus corona yang berasal pertama kali dari sana sejak awal bulan Februari, kemudian di susul dari Negara italia dan Iran di awal maret dan terakhir mereka menutup pintu gerbang Negara untuk semua pendatang dengan paspor negara lain per 19 maret 2020. 
 
Aku tidak bisa mencari informasi lebih jauh dari mana Negara bisa menanggulangi keuangan mereka mengingat Negara ini banyak di support dari sektor pariwisata, pendidikan dan eksport hasil pertanian. Di tambah Selandia baru juga harus memikirkan Negara-negara kepulauan semi otonom yang masih menjadi tanggung jawab mereka. Terakhir aku dengar justru pemerintah selandia baru akan memberikan insentif ekonomi bagi usaha yang terdampak pandemik ini
 
14 hari terakhir kamu kemana aja?
 
Di bandara Auckland dan Sydney, pertanyaan pertama yang akan ditanyakan, ke negara manakah yang pernah kamu kunjungi selama 14 hari terakhir? Ini juga berlaku saat aku tiba nanti di Bandara Intenasional Soekarno Hatta.
 
“Jikalau ada sejarah penerbangan ke negara-negara yang lagi mewabah Korona 19, penumpang kemungkinan besar tidak diperbolehkan naik pesawat terbang” jawab seorang petugas di bandara Sydney ketika aku tanya, apa kiranya yang terjadi jika aku pernah terbang ke Negara-negara tersebut. Negara-negara tersebut di antaranya termasuk China, Italia, Spanyol, Iran, UK, Perancis, Jerman, Swiss, Vatikan, dll. Aku bersyukur setidaknya sampai saat aku masuk ke dalam pesawat Indonesia tidak masuk dalam daftar tersebut.
 
Tiba di Indonesia
 
Di Indonesia ada 10 negara yang perlu melaporkan diri ketika tiba, Italia, Iran, Cina, Korea Selatan, Vatikan, Spanyol, Perancis, Jerman, Swiss dan Inggris. Informasi dari mas dan mbak yang bekerja di Dinas Kesehatan pelabuhan yang sigap memeriksa suhu tubuh dan mengumpulkan surat kesehatan yang kita isi di pesawat, bilang jika ada pendatang dari 10 negara ini, akan diperiksa dan dikarantina, lalu kebijakan akan di deportasi. Aku kembali bersyukur, Selandia baru tidak ada dalam daftar tersebut. Aku bergumam dalam hati, boleh juga Negara ku tidak ada kompromi untuk keselamatan bangsa dan negara.
 
Lalu, 5 menit kemudian saya tiba ke pintu imigrasi, saya bertanya ke mbak yang di pintu imigrasi. Tapi kalau mereka (pendatang, turis) ada surat keterangan sehat, mereka bisa masuk. Dua orang berbeda dalam jarak yang berdekatan, memberikan jawaban yang berbeda. Aku tidak mampu bergumam lagi, aku cuma mengangguk-angguk karena menggeleng takut di bilang makar.
 
Lalu, ketika tiba di SMB II, Palembang di penerbangan domestik, cukup sigap himbauan tentang menjaga kebersihan diri. Pihak maskapai Garuda mengumumkan anjuran dari Kementrian Kesehatan, untuk mencuci tangan atau menggunakan handsanitizer dan telapak tangan tidak menyentuh bagian muka (hidung, mulut dan mata) serta ke dokter jika mengalami gejala korona
 
Ada handsanitizer dimana-mana dan tulisan untuk kewaspadaan dini, tapi tidak ada petugas yang memeriksa suhu tubuh, mungkin sudah pulang ke rumah saya pikir karena aku tiba pada pukul 6.30 sore menjelang malam. 
 
Walau pengukuran suhu tubuh, tidak menjadi jaminan untuk deteksi dini, karena gejala bisa muncul 14 hari setelah kita terekspos si virus, setidaknya ini screening tahap awal untuk deteksi dini.
 
Sistem Belajar Mengajar Online di Selandia Baru
 
Selandia baru sudah menerapkan Lockdown total untuk Negara meraka, maka ini juga berimbas untuk dunia pendidikan mereka terutama perguruan tinggi. Ada banyak Mahasiswa internasional menimba ilmu di negeri kiwi hal ini sejalan dengan promosi mreka terhadap pendidikan yang gencar dan peberian beasiswa untu mahasiswa internasional. Sebagai catatatan untuk kampus tempat aku menyelesaikan studi Doktoral yakni AUT, ada sekitar 800 Mahasiswa dari negeri China yang sampai sekarang tidak bisa masuk mengikuti perkuliahan tatap muka. Oleh karenanya di berlakukan sistem pembelajaran online. Para  dosen sudah sangat sibuk menyiapkan mata kuliah online sejak awal semester untuk menjangkau semua mahasiswa. Pembelajaran online akan di berlakukan masif karena kemungkinan besar pemerintah akan menutup kegiatan belajar tatap muka. Supervisor ku bilang, kemungkinan akan diliburkan kampus dan belajar akan melalui online di kampus ku, AUT. (Saat tulisan di buat, AUT sudah menghentikan semua kegiatan belajar mengajar di kampus, dan akses kuliah berlangsung seperti biasa tapi secara online).
 
Tingkat literasi yang tinggi, termasuk pada para pengambil kebijakan, mereka tidak perlu menunggu hal yang buruk terjadi di tempat kita. Sebagai manusia yang berakal cukup belajar dari Negara-negara yang sudah menghadapi kasus ribuan dengan jumlah kematian yang juga ribuan seperti yang terjadi di Italia.
 
Di Italia, tingkat kematian cukup tinggi karena jumlah penduduk lansia disana sangatlah banyak dan sangatlah rentan meninggal dunia jika sudah terinfeksi sang virus ini, termasuk dokter-dokter dan tenaga medis yang merawat pasien. Serta mobilitas warga disana, cukup tinggi seperti negri kita, Indonesia.
 
Di Negara asal virus yakni China, sudah mulai ada penurunan jumlah kasus setelah mencapai puncaknya, dan keputusan Lock Down, menutup, mengisolasi daerah, memperlambat penyebaran sang virus ke banyak orang yang sehat.
 
Di Iran, walau kasus awal sempat tidak diumumkan secara publik, mereka belajar dengan cepat dan kasus sedang mencapai puncaknya dan mulai terbuka ke public.
 
Di Malaysia dan Singapura, tetangga terdekat Indonesia, lock down membuat kota ini menjadi sepi, dan penduduk diharapkan tidak panik, tapi tetap waspada. Penerbangan ke Singapura tetap ada.  Sebagai negara transtit ke banyak negara, pertemuan seminar dan keagamaan, menjadi salau satu media berkumpul dan menyebarkan si virus di negri Singapura ke negara ini dan berbagai negara. Tapi negara singa ini ini mengajarkan kita apa arti komunikasi efektif pemimpin untuk melibatkan partisipasi warganya dalam memerangi Korona.
 
Di Indonesia?..Nah ini yang unik..
 
Refleksi Korona untuk Indonesia…
 
Tiba di rumah, Alhamdulillah
 
Anak-anak sudah diliburkan sejak minggu ini dan 14 hari ke depan. Kementrian pendidikan dan Dinas Pendidikan di masing-masing daerah cukup sigap soal ini, Aku salut. Keijakan ini pun diperpanjang satu mingu ke depan dan saya berharap akan diperpanjang hingga akhir pandemic. Banyak perguruan Tiggi sudah memberlakukan system pembelajaran online, bahkan masjid dan rumah ibadah lain sudah meniadakan kegiatan ke agamaan yang menyebabkan berkumpulnya orang dalam jumlah besar. ASN dan beberapa perusahaan BUMN sudah menerapkan Work From Home, bekerja dari rumah. Di dalam bandara ketika aku tiba, banyak orang menggunakan masker, terutama traveller pejalan antar daerah antar provinsi dan antar Negara.
 
Tapi??
 
Mall dan pusat perbelanjaan, sarana pariwisata di serbu banyak pengunjung, bank, kantor-kantor swasta tetap buka dengan berbagai dalih pemiliknya. Sepanjang perjalanan pulang sopir taksi yang mengantar kami tidak menggunakan masker dengan kondisi yang kami kira tidak sehat karena kerap batuk. Di sepanjang perjalanan penduduk kota masih menikmati malam, muda-mudi berboncengan motor tanpa helm dan tanpa masker, macet masih menjadi pemandangan yang tidak asing.
 
Pedagang-pedagang asongan masih berseliweran menawarkan dagangan, lapak-lapak penjual makanan masih buka dan pengunjung berjubel seperti laron mengerubungi lampu di kala hujan, mereka bercengkerama, makan atau hanya duduk sambil menikmati rokok dan secangkir kopi. Restoran-restoran cepat saji masih buka 24 jam dan tidak sepi pengunjung.
 
Suara pengajian masih terdengar di masjid-masjid. Ibu-ibu dan bapak-bapak masih berduyun-duyun ke masjid dan surau di sudut-sudut kampung, anak-anak masih tekun menyimak petuah guru-guru ngaji mereka dalam pengajian selepas maghrib dan Isya.
 
Semua terlihat sepertinya normal, aku seperti masuk ke dunia lain setelah perjalanan panjang dari Selandia baru yang di liputi suasana seperti perang. Indonesia memang unik, mereka bukan tidak tau kalau ada bahaya yang mengancam, Korona menjadi salah satu topik yang hangat di bincangkan mereka. Tapi penduduk Negara ini sudah lama bersahabat dengan kematian, mencandai maut. Barusan penduduk Sumatera khususnya dilanda bencana kabut asap berbulan-bulan dan itu efek jangka panjangnya tidak kalah mengerikan dari senjata biologis. Belum lagi bencana alam banjir, gempa bumi, gunung meletus dll. Wabah endemic malaria, demam berdarah, tipes, disentri, gizi buruk, stunting, HIV, dll. Untuk kasus-kasus yang telah ada, jarang sekali ada kehadiran pemerintah yang telah mereka titipi tanggung jawab di dalamnya. Penduduk seolah harus menanggung hidup dan matinya sendiri. Oleh karenanya sedikit wabah yang apalagi di kabarkan cuma sebatas flu tidak akan membuat mereka gentar. Apalagi di awal pandemik ini pemerintah juga coba mencari jalan aman dengan memanfaatkan ke naifan penduduk negeri ini dengan mewacanakan bahwa pandemik ini tidak perlu di takuti berlebih-lebihan.
 
Pemerintah menghimbau social distancing, menjaga jarak, dan mengisolasi diri di dalam rumah tapi tidak menutup akses Negara atau lockdown. Lalu bagaimana nasib pekerja sektor informal? pedagang dan buruh harian?. Jika pemerintah memberlakukan Lockdown, sudah kah menyiapkan paket insentif ekonomi buat sebagian besar penduduk miskin kita? Harus ada solusi yang di hasikan dari pemikiran bersama semua pihak, sementara kita sebagai warga yang tahu, harus bergerak sejak dini untuk mengedukasi masyarakat tanpa bermaksud melangkahi kinerja pihak yang berwenang ataupun bermaksud untuk berlebih-lebihan. Apalagi penduduk Sumatera itu dengan mayoritas mata pencaharian berdagang dan masjid/mushola sebagai sumber kekuatan spiritual warga muslimnya.
 
Dan syukurlah sudah banyak kegiatan untuk meningkatkan kesadaran diri masing-masing dari kita di dunia sosial, mungkin termasuk tim Alumni dan mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Unsri dan , yang sudah memulai buat promosi kesehatan di media sosial: #MendepDirumahbLur! (Stay at home), Gerakan C.I.N.T.A, Social Challenge 30 hari edukasi tentang korona. Ini bukan Lebay, tapi Santuy untuk hajat hidup orang banyak…
 
Pada akhirnya, kita berharap wabah ini akan segera berlalu, bukan hanya lewat usaha kita tapi juga lewat doa-doa tulus orang tua yang masih mau ke masjid berdoa menghiba mengharapkan kebaikan buat negeri ini.
 
Soal mau lockdown, social distancing dan sebagainya itu biarlah jadi urusan pemerintah. Urusan kita adalah bagaimana menjaga diri dan keluarga kita masing-masing. Apakah kita menginginkan generasi penerus bangsa yang mungkin saja akan hadir dari keluarga kita mati sia-sia atau pun hidup dengan sakit serius di masa depan dampak panjang dari virus ini?. Oleh karenanya sekecil apapun ikhtiar yang kita lakukan menjadi bermakna jika kita niatkan sebagai ibadah kita melindungi diri dan keluarga.
 
Kementrian kesehatan di bandara Soeta manyarankan masih isolasi diri sendiri dan keluarga, dirumah saja 14 hari ke depan, untuk para traveler dari luar negri dan dalam negri. Maka akupun mengisolasi diri dirumah selama 14 hari ke depan, karena itu masih mungkin aku lakukan dan tidak memberatkan. 
 
Yang lain apa yang bisa kita perbuat dan tidak memberatkan lakukanlah, kalau dengan tidak ke masjid (pada kasus corona ini) menjadi ikhtiar kita untuk membantu orang lain tetap sehat dan menjadi sarana untuk lebih merindukan dan mencintai rumah Allah di masa depan maka lakukanlah. Pendekatan ke tokoh ulama sangat penting bagaimana sebaiknya ibadah ketika pandemik korona, yang akan memuncak pada akhir April dan Mei 2020, di negara dengan mayoritas Muslim dan kerjasama dengan tokoh agama lain serta tokoh masyarakat.
 
Ibu-ibu rumah tangga jika merasa menanam Tanaman Obat keluarga seperti rimpang-rimpangan menjadi ikhtiar yang baik untuk menjaga kesehatan keluarga dan bermanfaat buat komunitas sekitar untuk meningkatkan imunitas tubuh, maka lakukanlah sekarang juga. Sehingga apa yang kita lakukan menjadi inspirasi banyak orang dan menyebar menjadi sebuah kebaikan. Meramaikan warung tetangga, menjadi alternatif untuk tetap menggerakkan ekonomi rakyat, dan masyarakat tidak perlu berpergian jauh untuk membeli kebutuhan pokok mereka.
 
Pandemi di Indonesia, barulah dimulai diumumkan secara resmi awal Maret 2020, sama halnya Selandia Baru. Tapi, hal yang perlu diingat, di Indonesia, sebentar lagi musim mudik, dan penyebaran kasus akan semakin lebih intensif, dan diprediksi bisa mencapai maksimal 71,000 kasus positif korona pada akhir April, jika tidak ada kebijakan tegas dari pemerintah daerah dan pusat (https://theconversation.com/without-major-intervention-indonesia-could-have-71-000-covid-19-cases-by-aprils-end-134239). Sedangkan di Selandia Baru yang akan menghadapi musim dingin dimana demam, flu dan batuk akan menjangkiti warga dan tentu saja imunitas tubuh akan berkurang, sudah memprediksi hal yang tidak diinginkan sehingga perdana menteri, Jacinda Ardern, bilang “walau kita belum ada wabah di komunitas kita, kita harus mencegah bekerja lebih keras dan mencegah lebih awal”.
 
 
#MendepDirumahLur
#Gerakan C.I.N.T.A
#Mencegah lebih baik daripada mengobati
#Lindungi keluarga, dan tenaga kesehatan dari penularan Covid
#Indonesia Kuat 
#PhDEmakWongPalemban
Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

0 comments