Penulis:
Mutiara wahyuliana, Rahma Febrian Nurzahra, Rehsa Apriliana, Siti Wulandari, Claresta Florean Fadhillah
Mahasiswa SI Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM Universitas Sriwijaya
Editor : Mutiara Wahyuliana
Berita utama selama pandemi COVID-19 sebagian besar menampilkan jumlah kematian yang disebabkannya. Tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi ini juga memiliki dampak pada kesehatan mental masyarakat. Studi menunjukkan bahwa orang-orang dari segala usia dan dari semua lapisan masyarakat telah mengalami masalah kesehatan mental karena pandemi yang terus berkecamuk. Mahasiswa ataupun pelajar yang sedang menempuh pendidikan tentu saja tidak luput dari masalah kesehatan mental yang disebabkan pandemi COVID-19.
Data terkini dari UNICEF menunjukkan bahwa, secara global, setidaknya 1 dari 7 anak mengalami dampak langsung karantina, sementara 1,6 miliar anak terdampak oleh terhentinya proses belajar mengajar. Gangguan terhadap rutinitas, pendidikan, rekreasi, serta kecemasan seputar keuangan keluarga dan kesehatan membuat banyak anak muda merasa takut, marah, sekaligus khawatir akan masa depan mereka. Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama yang mengukur angka kejadian gangguan mental pada remaja 10 – 17 tahun di Indonesia, menunjukkan bahwa satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia memiliki gangguan mental dalam 12 bulan terakhir.
Faktanya, baik mahasiswa saat ini maupun calon mahasiswa menunjukkan berbagai tantangan kesehatan mental sebagai akibat dari pandemi, mulai dari kecemasan dan depresi hingga perasaan terisolasi dan kekhawatiran tentang masa depan.
Bagaimana COVID-19 Berdampak Pada Kesehatan Mental?

https://images.app.goo.gl/PvWsAq5chV4B16i89
Depresi
Depresi adalah kondisi kesehatan mental yang paling umum. Ini telah menjadi kehadiran yang sering dijumpai dilingkungan kampus selama bertahun-tahun, dan Pandemi COVID-19 semakin memperburuk situasi ini.
Sumber: harvard.health.edu
Bahkan sebelum COVID-19, depresi telah menjadi umum di kalangan mahasiswa. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Adolescent Health, tingkat depresi sedang hingga berat di kalangan mahasiswa naik hampir 18 persen antara 2007 dan 2018. Penelitian ini melukiskan gambaran yang cukup suram tentang perjuangan kesehatan mental siswa usia kuliah.
Data dari survei yang dilakukan oleh Great Value Colleges (GVC) di mana 70 dari 176 responden mahasiswa mengindikasikan bahwa krisis COVID-19 telah memengaruhi kesehatan mental mereka. Di antara 70 tanggapan tersebut, banyak responden yang merujuk perasaan depresi dengan perasaan sedih, merasa terasingkan, dan bahkan mengatakan bahwa "karantina telah menambah depresi saya."
Lebih jauh lagi, banyak responden mengaitkan perasaan ketidakpastian akan situasi yang mereka hadapi dengan meningkatnya perasaan depresi. Dari mengkhawatirkan tantangan saat ini dan masa depan hingga merasa seperti "dunia menentang saya," ketidakpastian hidup selama pandemi mendatangkan malapetaka bagi para mahasiswa dan mahasiswa baru.
Kecemasan
Seperti depresi, kecemasan adalah kondisi kesehatan mental yang sering dijumpai. Hal ini terutama berlaku untuk siswa usia kuliah dan pra-kuliah. Dan, seperti halnya depresi, tingkat kecemasan meningkat sejak pandemi COVID-19 dimulai.
Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Medical Internet Research, 71 persen peserta menunjukkan "peningkatan stres dan kecemasan akibat wabah COVID-19".
Di antara kecemasan yang paling sering dilaporkan meliputi:

https://images.app.goo.gl/Z5ALyC4teFNYbYng7
â— Ketakutan tentang kesehatan pribadi
â— Khawatir tentang kesehatan orang yang dicintai,
â— Kesulitan berkonsentrasi
â— Pola tidur yang terganggu
◠Berkurangnya interaksi sosial
â— Meningkatnya kekhawatiran tentang prestasi akademis.
Survei GVC terhadap 176 mahasiswa menghasilkan hasil yang serupa. Dari para responden yang mencatat peningkatan perasaan cemas karena COVID-19, tanggapannya berkisar dari "merasa tidak termotivasi" hingga merasa "kurang fokus." Yang lain melaporkan merasa cemas karena "terlalu banyak tugas" dan tidak memiliki interaksi yang memadai dengan keluarga dan teman.
Perasaan Terisolasi

https://images.app.goo.gl/N67vyBTJyKuwszYq9
Bagi banyak mahasiswa, prospek tinggal di kampus bersama mahasiswa lain adalah salah satu aspek paling menarik dari kuliah.
Hal lainnya seperti menantikan pertemuan dengan orang baru, menjalin pertemanan baru, dan memiliki pengalaman hidup baru adalah sesuatu yang sangat disukai oleh banyak siswa usia kuliah. Begitu pula dengan ikut serta dalam diskusi kelas dengan mahasiswa lain. Pergi ke perpustakaan, makan malam bersama di kafetaria, berkumpul bersama di luar sehabis perkuliahan, dan kegiatan lainnya yang membuat pengalaman kuliah menjadi sesuatu yang istimewa untuk dinantikan.
Tetapi pandemi COVID-19 telah mengubah semua itu.
Karena banyak perguruan tinggi dan telah beralih ke pembelajaran secara daring, hampir semua kegiatan yang tercantum di atas tidak lagi dapat dilakukan. Tentu, para mahasiswa dapat mengambil kelas daring dan "bertemu" dengan dosen dan teman sekelas melalui obrolan video, tetapi itu tidak sama dengan interaksi manusia di dunia nyata.
Dalam survei GVC terhadap 176 mahasiswa, respon merasa “terisolasi” cukup banyak di sampaikan responden. Keluhan tentang perasaan "sendirian", "terputus", dan "terkurung" menunjukkan bahwa beberapa responden telah mengembangkan rasa terisolasi yang ekstrem yang disebabkan oleh pandemi. Mahasiswa usia kuliah memiliki risiko tinggi untuk merasa kesepian, dan pandemi telah memperburuk situasi itu.
Lalu Bagaimana Cara Mengatasi Kondisi Mental Ini?
Namun demikian, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk membantu mengusir perasaan depresi, cemas, dan perasaan terisolasi inii.
Pertama, pahamilah bahwa tidak apa-apa untuk merasakan hal-hal tersebut. Selain itu, pahamilah bahwa banyak orang lain berada dalam situasi yang sama dan memiliki respon emosional yang sama.
Kedua, bicarakan perasaan anda dengan orang yang anda percayai. Ini bisa dengan orang tua atau saudara kandung, teman baik, atau pasangan anda. Bahkan jika anda tidak dapat melakukan percakapan tatap muka, sering menelepon, atau obrolan video dapat sangat membantu anda menghadapi masa pandemi. Atau jika anda merasa kondisi anda berada ditahap yang lebih serius, bantuan profesional dapat menjadi pilihan yang tepat.
Hal ketiga yang terpenting adalah komunikasi. Hak yang harus anda lakukan adalah proaktif dalam menjangkau orang lain. Hubungi teman yang sudah lama tidak berhubungan dengan anda. Lakukan obrolan video harian dengan keluarga anda. Mintalah teman dan tetangga anda untuk berkumpul dan berbincang bersama di luar rumah Semakin banyak upaya yang anda lakukan untuk berhubungan dengan orang lain, semakin sedikit anda akan merasa terpencil.
Keempat, luangkan waktu untuk diri sendiri setiap hari. Sangat mudah untuk kewalahan dengan tugas sekolah dan kekhawatiran tentang pandemi yang sedang berlangsung. Dengan meluangkan waktu beberapa menit setiap hari untuk fokus pada diri sendiri dan melakukan sesuatu yang anda sukai, suasana hati anda akan terangkat dan semangat anda akan pulih kembali.
Terakhir, kembangkan rutinitas harian. Bangun dan tidur pada waktu yang konsisten. Praktikan kebiasan hidup bersih. Makan makanan bergizi. Tetapkan tujuan yang ingin dan perlu anda capai dengan studi anda setiap hari. Memiliki rutinitas yang terstruktur akan membantu anda menetapkan dan mencapai tujuan setiap hari, dan memberi anda berbagai kegiatan untuk dilakukan.
Akankah Situasi Ini Bertahan Selamanya?
Tidak diragukan lagi bahwa pandemi COVID-19 telah menciptakan banyak malapetaka. Tetapi bukan hanya masa lalu atau masa kini yang dikhawatirkan oleh para calon mahasiswa dan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan; mereka juga khawatir tentang masa depan.
“Berapa lama lagi kita akan berada di bawah perintah tinggal di rumah?”, “Apakah kelas tatap muka akan kembali pada semester depan?”, “Kapan virus akan berakhir?”, “Apakah saya bisa mendapatkan pekerjaan setelah saya lulus?”, “Apakah orang yang saya cintai baik-baik saja?”. Ini adalah beberapa pertanyaan yang menghantui orang-orang setiap harinya.
Survei GVC mengungkapkan berbagai kekhawatiran tentang masa depan di antara para responden. Beberapa mencatat bahwa peraturan baru mengenai masker dan vaksin membuat mereka khawatir. Yang lain mencatat bahwa mereka menjadi lebih tertutup dan "selalu khawatir tentang masa depan." Responden lain menjelaskan bahwa mereka telah "kehilangan minat untuk bersosialisasi dan belajar,".
Selain itu, sebagian besar responden mengindikasikan bahwa pandemi COVID-19 telah berdampak pada keuangan mereka. Meskipun telah merasakan tekanan ekonomi yang sulit, banyak dari para responden berhasil mempertahankan pekerjaan mereka, setidaknya untuk saat ini. Namun, beberapa responden lain mencatat bahwa mereka tidak hanya kesulitan untuk bersekolah tetapi mereka juga saat ini tidak memiliki pekerjaan. Hal ini telah menyebabkan perasaan "cukup kacau" bagi para responden. Namun demikian, ada sebagian mahasiswa yang melihat hikmahnya.
Salah satu responden survei mengungkapkan mereka jadi memiliki lebih banyak waktu untuk lebih fokus pada kesehatan fisik dan mental saya sebelumnya tidak pernah bisa dilakukan. Menggunakan waktu luang untuk pengembangan diri bisa menjadi kunci dalam membantu mengembangkan dan mempertahankan pandangan yang lebih positif untuk masa depan.
Harvard Business Review melaporkan hal yang sama; bahwa tingkat kepedulian para mahasiswa terhadap orang lain berkembang lebih besar dan berusaha merancang cara untuk membantu orang yang membutuhkan. Terlebih lagi, para mahasiswa menunjukkan minat yang lebih besar dalam karier yang berfokus pada membantu orang lain serta meningkatkan kesehatan masyarakat.
Jadi, meskipun mudah untuk merasa bahwa dunia sedang runtuh di sekeliling kita, namun masih ada peluang untuk melihat sisi positif dari apa yang mungkin akan terjadi di masa depan.
Referensi
College Students Reports Financial, Mental Health Challenges: GVC Study 2021
The State of the World’s Children 2021; On My Mind: promoting, protecting and caring for children’s mental health
Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS)
Komentar