oleh

Perubahan Iklim terhadap Ancaman kasus DBD !

-Opini, dibaca 615 x

 Oleh:

Arie Anggara, Fitriawati, Jumisah

Editor: Ade Pratama
 
 
Global Environmental Change (GEC) atau perubahan lingkungan global terutama global warming atau pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan memberikan dampak negative pada aktivitas kehidupan masyarakat. Dampak pemansan global sedikit banyak ikut berperan terhadap peningkatan habitat vektor dan faktor iklim yang meliputi curah hujan, suhu udara, dan kelembapan sehingga dapat memicu penyebarluasan berbagai macam penyakit yang dibawa oleh vektor serangga yaitu nyamuk dan lalat, misalnya penyakit malaria dan demam berdarah dengue (DBD). 
 
Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang disebarluaskan oleh serangga. Serangga atau vektor arthropoda dapat menularkan virus Arbovirus (virus Arbo) saat menggigit tubuh manusia sehingga virus masuk ke sistem peredaran darah manusia. Demam berdarah dengue dapat menjadi ancaman dikarenakan menjadi makin meningkat dengan adanya perubahan kondisi iklim. Kondisi pemanasan tersebut diproyeksikanberpotensi meningkatkan kejadian penyakit yang dibawa oleh vektor, salah satunya yakni DBD.
 
Siklus Perkembangan dan Pertumbuhan Nyamuk
 
Iklim memberikan pengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang menjadi vektor penyebab kejadian DBD. Dampak dari pemanasan global menyebabkan semakin singkatnya siklus perkawinan dan pertumbuhan nyamuk dari telur menjadi larva dan nyamuk dewasa. Bionomi nyamuk berubah sehingga perilaku nyamuk akan berubah dimana perkawinan nyamuk semakin meninggi dan keinginan untuk mencari makan lebih besar. kemampuan produksi telur juga semakin bertambah, masa kematangan pendek, biting rate (tingkat gigitan) meningkat sehingga populasi nyamuk meningkat tajam. Populasi vektor dapat meningkat dengan adanya perubahan iklim sehingga mengakibatkan jumlah populasi nyamuk berkembang sangat cepat (Khambali, 2019; Maghfiroh 2022). 
 
Suhu, Kelembaban dan Curah Hujan
 
Keberadaan nyamuk Aedes aegypti juga sangat dipengaruhi oleh suhu dan curah hujan yang tidak menentu, karena hal tersebut berpotensi sebagai perindukan larva Aedes Aegypti. Pemanasan global menyebabkan daerah subtropis menjadi relatif lebih hangat, sehingga nyamuk yang pada awalnya hanya berada dan berkembang biak di tropis akan bermigrasi dan bertahan di daerah beriklim subtropis. Akibatnya, sekarang mulai ditemukan dan dilaporkan adanya penyakit DBD dan malaria di daerah-daerah yang dulunya dinyatakan bebas dari wabah tersebut. 
 
Suhu udara dapat memperngaruhi durasi menetasnya telur Aedes menjadi larva kemudian menjadi pupa dan Nyamuk dewasa. Suhu udara yang lembab mempengaruhi transmisi nyamuk karena sifat sensitive nyamuk terhadap kelembapan. Curah hujan yang tinggi serta banyaknya ditemukan genangan air dapat menyebabkan bertambahnya tempat perkembangbiakan nyamuk dan memicu pertumbuhan nyamuk yang menjadi kebal (resisten) terhadap insektisida. Dampak suhu yang ekstrim yang berpengaruh pada cuaca, mempengaruhi kejadian kesakitan atau kematian pada penyakit diantaranya vectorborne-diseases.
 
Dengan demikian semakin meningkat perubahan iklim di dunia maka kejadian kasus DBD akan semakin tinggi dan menjadi ancaman di seluruh dunia.
 
Jenis Nyamuk yang menjadi Penyebab DBD
 
Nyamuk yang menjadi vektor utama penyakit DBD adalah Aedes aegypti. Perkembangbiakan nyamuk ini akan meningkat pada suhu sekitar 25-27ºC yang semula hanya ditemukan di daerah-daerah tropis dengan suhu 16-200C atau pada daerah dengan ketinggian di bawah 1000 meter di atas permukaan laut. Namun, karena pemanasan global menyebabkan daerah subtropis menjadi relative lebih hanyat sehingga perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti bermigrasi dan mampu bertahan hidup di daerah subtropis. Untuk menyebabkan infeksi pada manusia Virus dengue pada nyamuk Aedes aegypty ini membutuhkan waktu 8-11 hari untuk memperbanyak diri.
 
Kejadian Kasus DBD di Indonesia
 
 
Dari data di atas terdapat 73.518 kasus DBD di Indonesia sepanjang tahun berdasarkan Kementerian Kesehatan RI. Jumlah tersebut menurun 32,12% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 108.303 kasus. Angka kesakitan kasus DBD di Indonesia sebesar 27 per 100.000 penduduk di tahun 2022. Sementara, kematian akibat DBD mencapai 705 kasus sepanjang tahun 2021. Jawa Barat menjadi provinsi dengan tingkat kematian DBD tertinggi, yakni 2,71%. Kemudian diikuti oleh Gorontalo dan Sulawesi Utara dengan tingkat kematian DBD berturut-turut sebesar 2,69% dan 2,68%. Kejadian kasus DBD ini juga semakin meluas sebaran geografisnya dan semakin meningkat jumlah korbannya. Terdapat sekurang-kurangnya 2/5 penduduk dunia beresiko untuk terancam infeksi DBD.
 
Upaya Pencegahan DBD Supaya Tidak Semakin Meluas
 
Perubahan iklim menyebabkan terjadinya perubahan curah hujan berdampak pada kenaikan kejadian demam beradarah (DBD). Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak perubahan iklim terhadap kejadian demam berdarah perlu dilakukan upaya mitigasi untuk minimalisasi penyebab dan dampak dan adaptasi dalam menanggulangi risiko kesehatan.
 
 Early warning system terhadap kejadian luar biasa DBD harus dilaksanakan di setiap daerah dengan memperhatikan kecenderungan perubahan faktor iklim. Selain itu diperlukan perbaikan lingkungan yang harus disertai dengan perubahan faktor lain seperti perilaku dan pelayanan kesehatan.
 
Masyarakat diharapkan meningkatkan kewaspadaan terhadap DBD baik dimusim hujan dan kemarau, peningkatan kasus kejadin DBD terjadi disepanjang tahun. Upaya yang harus dilakukan untuk melindungi masyarakat dari dampak pemanasan global terhadap kejadian DBD yaitu perlu dilakukan perbaikan lingkungan disertai dengan perilaku masyarakat terhadap hidup sehat dan pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah.
 
Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

0 comments