oleh

Normalisasi Budaya Patriarki: Tantangan dalam Meningkatkan Akses KB Pria

-Opini, dibaca 1407 x

Penulis:

Amelia Suci Indah Melati, Muthia Hana Fauziyyah, Precilia Wulandari, dan Yustika Amanda

Editor: Muthia Hana Fauziyyah
Email: yustikaamanda@gmail.com
 
 
Suatu pagi, Bu Rina dan suaminya sedang konsultasi KB di Puskesmas. Mereka berencana menunda memiliki anak ke-2 dengan alasan anak pertama mereka masih terlalu kecil untuk memiliki adik. Setelah mengikuti serangkaian prosedur, mereka di arahkan ke Ruang Pelayanan KIA-KB. Sebagai pasangan yang baru menikah dan memiliki anak pertama tanpa KB, Bu Rina belum berpengalaman dalam ber-KB. Dokter menyarankan berbagai jenis KB pada Bu Rina. Namun, KB hanya ditawarkan kepada Bu Rina sebagai pihak istri. Sedangkan, pihak suami tidak dipaparkan informasi mengenai KB pria.
 
Penggalan cerita singkat di atas menunjukkan bahwa ternyata KB untuk pria masih terasa asing di masyarakat. Bahkan di fasilitas kesehatan, KB untuk pria seakan tidak terlihat. Selain itu, sejak digalakkan program KB pada tahun 1970, promosi KB yang beredar di masyarakat masih identik dengan wanita hingga saat ini.
 
Dikutip dari Suara.com, Kepala seksi peningkatan partisipasi KB pria BKKBN, dr. Raymond Nadeak MH (Kes) menerangkan bahwa partisipasi pria dalam program KB di Indonesia mengalami peningkatan yang lambat dari tahun ke tahun. Hal ini dikarenakan berbagai faktor, antara lain minimnya akses ke pelayanan kesehatan, tatanan sosial, serta rumor negatif mengenai penggunaan kontrasepsi untuk pria. 
 
Apa itu Budaya Patriarki? 
 
Pada tatanan sosial di Indonesia, budaya patriarki yang dinormalisasi oleh masyarakat menjadi salah satu faktor penghambat KB pria. Dimana sistem sosial menempatkan pria sebagai seorang pengambil keputusan dan mendominasi dalam rumah tangga, sehingga masih sedikit laki-laki yang mengambil tanggung jawab dalam peranan perencanaan keluarga.. Padahal, hal tersebut merupakan tanggung jawab kedua belah pihak, baik istri maupun suami. Menurut penelitian Andini (2012), berpendapat bahwa kendala ikut kontrasepsi terlebih terjadi pada masyarakat yang masih menjunjung tinggi budaya patriarki. 
 
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya angka KB pada pria di Indonesia, yaitu :
 
 
Pengetahuan yang Rendah Mempengaruhi Persepsi KB Pria
 
Persepsi seseorang dapat mempengaruhi keputusan yang diambilnya. Rendahnya pengetahuan masyarakat terkait program KB dapat menimbulkan kesalahpahaman pada penggunaannya. Berdasarkan penelitian Suherni, dkk. (2006) bahwa hanya 6,2% pria yang mengetahui secara lengkap tentang alat kontrasepsi wanita dan pria. Masih banyak pria yang tidak memahami tentang KB dan bahkan ada yang menganggap bahwa KB pria jenis vasektomi itu sama dengan kebiri. Tidak sedikit juga yang menganggap KB memiliki dampak negatif terhadap kesehatan yang menyebabkan mereka menjadi takut untuk ber-KB. Selain itu, adanya rasa tidak puas bagi pasangan yang belum memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu, misalnya belum punya anak laki-laki ataupun baru punya anak 1. Sehingga,  seorang pria cenderung memilih untuk menunda dan malas melakukan KB.
 
KB Urusan Istri Semata
 
Faktor lainnya yaitu tidak adanya dukungan dari pasangan untuk ikut program KB karena beberapa hal, misalnya kurangnya informasi ataupun pengetahuan, sehingga seorang pria tidak memiliki motivasi untuk mengikuti program KB.  Baik pria secara pribadi, keluarga, maupun masyarakat masih berpikir bahwa program KB hanya urusan istri dan akan terdengar aneh jika suami yang melakukannya.
 
Dikutip dari Harian Jogja, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, Rabu (29/4/2022) mengatakan "Partisipasi suami penting sekali menurut saya, karena jika selama KB hanya dibebankan kepada istri itu tidak fair. Yang hamil istri, melahirkan istri, KB juga istri, kan tidak fair."
 
Faktor Sosial Ekonomi, Budaya dan Agama

Adanya keterbatasan ekonomi masyarakat, dimana pendapatan yang dimiliki hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyebabkan mereka sulit mengakses program KB. Walaupun sekarang program KB telah ditanggung BPJS kesehatan, namun masih ada masyarakat yang belum mengikuti kepesertaan BPJS kesehatan akibat keterbatasan ekonomi, sehingga mereka sulit untuk mengikuti program KB yang berbayar.
 
Selain itu, menurut penelitian Dausu (2020), adanya anggapan bahwa “banyak anak banyak rezeki” masih dipercayai hingga kini di kalangan masyarakat yang membuat keikutsertaan pria/suami dalam program KB tergolong rendah. Masyarakat beranggapan bahwa, semakin banyak anak akan semakin banyak pula rezeki yang dihasilkan terlepas dari kesanggupan mereka dalam membesarkan anak yang dilahirkan.
 
Beberapa masyarakat juga masih berpegang teguh pada fatwa lama MUI. Dilansir dari BBC News Indonesia, pada tahun 2012 MUI mengeluarkan fatwa bahwa “vasektomi itu haram”. Hal tersebut menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat dan menyamaratakan semua program KB itu haram. Padahal dikutip dari Nasional Tempo “untuk sekarang MUI telah mengeluarkan alternatif hukum mubah (boleh) sejauh vasektomi tersebut dilakukan sesuai dengan syariat Islam,” kata Ahmad Rofiq selaku Sekretaris MUI Jawa Tengah.
 
Layanan Kesehatan Mempengaruhi Capaian KB Pria
 
Kurangnya fasilitas kesehatan dan promosi layanan KB di masyarakat, tenaga kesehatan yang kurang memadai dari segi kualitas dan kuantitas, dan kurangnya ketersediaan tenaga   medis   dalam   hal   ini   dokter sebagai  tenaga  ahli  dalam melakukan metode MOP (Metode Operasi Pria) menyebabkan kurangnya informasi bagi pasangan suami istri,  khususnya tentang KB pria dan kesehatan reproduksi. Sehingga para suami tidak memiliki  pengetahuan yang memadai mengenai pentingnya berpartisipasi sebagai  akseptor  KB. 
 
Ditambah lagi, bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil yang jauh dari pusat kota masih mengalami kesulitan dalam akses pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Suherni, dkk. (2006) menemukan bahwa adanya kemudahan penggunaan dan ketersediaan sarana/fasilitas pelayanan ternyata berdampak positif terhadap penggunaan suatu alat kontrasepsi. 
 
Upaya Meningkatkan Partisipasi KB Pria di Indonesia

Sudah seharusnya pria mengambil peran dalam mewujudkan keluarga yang berkualitas. Di samping mewujudkan kesetaraan gender dalam KB, juga mengubah persepsi masyarakat bahwa KB hanya urusan wanita.
 
Untuk mewujudkannya, diperlukan kerja sama dari pemerintah dan elemen masyarakat melalui penyuluhan, pemberian motivasi dan edukasi untuk mengubah pola pikir, sehingga akan timbul kesadaran dalam diri mereka, sehingga mengurangi kekhawatiran terkait kesalahan persepsi. Selain itu, Meningkatkan kualitas layanan dengan menyediakan dokter dan tenaga medis khusus bagi program KB MOP untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan dan efek samping yang tidak dikehendaki, karena tidak banyak dokter dan tenaga medis yang ahli di bidang tersebut. Kader pria yang kompeten juga diperlukan agar lebih leluasa melakukan pendekatan karena sesama pria, yang diharapkan para pria tahu dan paham perannya dalam keluarga. Serta, kita dapat memanfaatkan kemajuan teknologi yang ada untuk menyebarluaskan informasi terkait KB pria agar tidak lagi dianggap tabu.
 
 
Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

0 comments