Tugas Artikel Epidemiologi Sosial
Kelompok 4
Nama Anggota Kelompok:
Linda Fitrisusanti
Mita Julianti
Sarah Dwi Putri
Editor: Athiyah Ashilah
E-mail: [email protected]
Mengutip dari salah satu berita online (detiknews) - seorang gadis remaja di Malaysia melakukan bunuh diri berusia 16 tahun melakukan aksi bunuh diri setelah bertanya kepada followersnya. Awalnya dia membuka polling via akun instagramnnya dengan pertanyaan “sangat penting, bantu saya memilih D/L” D disini dimaksudkan dengan Death sedangkan L adalah Life, kemudian 69 persen dari pengikutnya memilih D yang artinya Death.
Tahukah Anda, bahwa setiap jam yang dihabiskan dalam sosial media dapat meningkatkan gejala depresi secara signifikan? Demikian yang dikatakan dalam sebuah penelitian di Canada terhadap siswa kelas tujuh pada tahun 2019.
Self Harm dan Sosial Media
Dewasa ini, sosial media sudah terintegrasi ke dalam setiap lini kehidupan, tak terkecuali anak usia remaja. Pada dasarnya, penggunaan sosial media dapat membantu kita dalam banyak hal, seperti memudahkan kita dalam mendapatkan informasi, berkomunikasi, dan menjadi ruang berekspresi dalam menyalurkan minat dan bakat. Namun, jika tidak digunakan dengan baik, sosial media justru bisa berdampak negatif, termasuk terhadap kesehatan mental remaja.
Dilansri dari alodokter, penggunaan media sosial memang memiliki dampak buruk pada kesehatan psikologis anak-anak terutama pada remaja. Dampak psikologis yang dapat muncul pada anak remaja yang di akibatkan penggunaan media sosial yang berlebihan meliputi gangguan kecemasan, depresi hingga bahkan bunuh diri.
Menurut WHO (2018) perilaku self-harm atau bisa disebut dengan melukai diri sendiri dan bunuh diri menjadi penyebab kematian kedua didunia diantara usia 18 hingga 29 tahun. Bahkan Self-harm ini sendiri sempat menajdi trend di sosial media, banyak dari remaja yang berbondong-bondong untuk mengikuti trend ini tanpa tahu bahaya yang akan mereka dapatkan dari trend yang mereka ikuti.
Di Indonesia sendiri, menurut data dari survei YouGov (2019) menunjukkan 36,9% orang di Indonesia pernah dengan sengaja melukai diri mereka sendiri, di mana prevalensi tertingginya ditemukan pada kelompok usia 18-24 tahun.

Studi Kasus Bunuh Diri, Sosial Media, dan Penyebab
Di sisi lain, menurut Psikiater Nova Riyanti Yusuf, dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa penyebab terbesar depresi pada usia remaja adalah sosial media. Namun, hubungan antara sosial media dan kesehatan mental juga bersifat multifaktorial, yang mempengaruhi bagaimana seseorang dalam menggunakan sosial media. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Faktor Individu
Hal yang mendukung keterikatan sosial media pada kesehatan mental remaja pada faktor individu adalah kecerdasan emosional. Menurut penelitian Iga Ayu Saputri, dkk (2020), risiko individu mengalami depresi dan gangguan kecemasan dapat berkurang apabila individu tersebut memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi.
Seseorang dengan kecerdasan emosional yang kurang baik akan lebih sulit untuk mengatur emosi, menyimpulkan informasi yang diterima, dan mengelola stres sehingga dalam menggunakan sosial media mereka dapat mengalami kesulitan.
Selain itu, masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Pada masa ini, individu akan lebih mudah merasa terombang-ambing karena keadaan diri yang kurang stabil, lebih emosional, memiliki rasa ingin tau yang tinggi, dan seringkali memiliki pertentangan dalam diri. Contohnya pada salah satu kasus yang dialami oleh gadis asal Inggris yang bernama Molly Russel. Pada tahun 2017, Molly nekat mengakhiri hidupnya sendiri setelah terinspirasi oleh gambar-gambar yang menunjukkan ilustrasi bunuh diri di akun instagramnya.
Menurut Ayunda Ramadhani, salah satu dosen Program Studi Psikologi, Universitas Mulawarman, kelompok remaja menjadi kelompok yang paling rentan mengalami stres hingga muncul ide bunuh diri karena tingkat emosionalnya yang masih labil apalagi jika tidak memiliki pengetahuan memecahkan permasalahan yang dapat menimbulkan stres.
2. Faktor Keluarga
Dilansir dari merdeka.com, seorang remaja berusia 17 tahun di Bali nekat melakukan gantung diri di pohon diduga karena depresi akibat masalah keluarga. Korban ditemukan sudah tewas tergantung di pohon manggis dengan menggunakan tali rapia.
Keluarga merupakan orang tedekat dan orang pertama yang berada disisi remaja, keluarga turut memiliki peran dalam mensejahterakan kesehatan mental remaja. Menurut penelitian Elyusra Ulfah (2021) Keluarga memiliki peran dalam hal mendampingi, memberi rasa nyaman, menjalin komunikasi interaktif, serta menciptakan pola pengasuhan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang sehat. Jika tidak mendapatkan pola pengasuhan yang medukung maka hal tersebut akan berdampak buruk bagi kesehatan mentalnya, maka dia akan mencari tempat dimana dia merasa nyaman seperti sosial media. Jika remaja tersebut tidak memliki keluarga yang dapat mendapmpinginya dalam hal memilih sosial media dengan baik dan benar, maka dapat berdampak buruk bagi pertumbuhan bahkan kesehatan mental bagi si remaja.
3. Faktor Pelayanan Kesehatan
Fasilitas pelayanan kesehatan mental di Indonesia masih terbilang kurang memadai, di mana sebanyak 91% masyarakat Indonesia yang mengalami gangguan jiwa dengan gejala kecemasan dan depresi tidak tertangani dengan baik. Hal ini disebabkan karena masalah sumber daya manusia untuk tenaga kesehatan jiwa yang masih kurang, hingga persebaran rumah sakit jiwa yang masih belum merata di berbagai provinsi di Indonesia. Selain itu, stigma dan diskriminasi dari tenaga kesehatan juga masih menjadi hambatan dalam mengatasi masalah kesehatan mental di Indonesia.
Masih sedikitnya pasien depresi atau gangguan mental yang tidak tertangani di Indonesia -hanya sekitar 9% pasien yang dapat tertangani-, dapat berakhir tragis hingga bunuh diri. Menurut dr Eka Viora spKJ dalam Seminar yang berjudul Depresi: Yuk Curhat di RS Jiwa Menur Surabaya, seperti yang dilansir dalam detik.com, 30 persen pasien dengan gejala depresi yang berakhir bunuh diri sebenarnya dapat dicegah apabila tertangani dengan baik. Penanganan yang kurang baik pada pasien dengan gangguan mental dapat dilihat pada kasus pasien MDR-TB yang memutuskan bunuh diri akibat depresi. Pada kasus tersebut, tenaga kesehatan hanya fokus pada masalah kesehatan fisik saja, padahal pasien juga menderita depresi yang mempengaruhi kepatuhan minum obat pasien itu sendiri. Di saat bersamaan, beban biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan juga memicu depresi hingga bunuh diri.
Seli (29 tahun) mengungkapkan bagaimana MDR-TB membuatnya berpikir untuk bunuh diri akibat gangguan psikologis karena efek obat yang dikonsumsinya. Tidak adanya pendampingan psikologis atau pengobatan kesehatan mental pada pasien MDR-TB yang tidak masuk ke dalam satu paket pengobatan TB berisiko membuat pasien berhenti mengonsumsi obat hingga terjadi resisten obat tingkat lanjut.
4. Faktor Sosial Budaya dan Agama
24 Desember 2011, seorang siswi SMP melakukan bunuh diri dengan cara menggantung diri, warga setempat meyakini bahwa “korban” tersebut beberapa hari sebelum kejadian tersebut melihat tanda cahaya berekor dari langit yang jatuh di dekat rumah “korban”.
Di Indonesia tepatnya di Kabupaten Gunung Kidul (Yogyakarta) terkenal sebagai daerah yang memili angka bunuh diri anak remaja yang tertinggi di Indonesia. Menurut sumberr Wahana Komunikasi Lintas Spesialis kasus bunuh diri di daerah tersebut adalah sembilan kasus per 100.000 penduduk, dengan perbandingan angka kasus bunuh diri dijakarta hanya sekitar 1,2 kasus per 100.000 penduduk.
Secara khusus daerah tersebut memiliki kepercayaan yang dikenal dengan istilah “pulung gantung”. Istilah ini merujuk pada kepercayaan masyarakat setempat, yaitu diyakini bahwa tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh para remaja tersebut adalah karena mereka merasa diri mereka mendapatkan “pulung” atau “wahyu” yang di tentukan oleh semacam tanda bintang dari langit di malam hari. bintang ini akan jatuh dengan cepat seolah-olah menuju kearah rumah “korban” bunuh diri. Ketika telah mendapatkan pertanda tersebut si “korban” akan melakukan bunuh diri dengan cara gantung diri. Mitos ini sudah tidak asing lagi bagi warga sekitar, karena mitos ini datangnya dari mulut ke mulut, setiap sesudah terjadi kasus bunuh diri oleh warga. Mitos “pulung gantung” ini seolah-olah sudah menjadi pembenaran suratan nasib secara alamiah yang tidak perlu untuk dipertanyakan lagi.
Pada dasarnya di Indonesia masih sangat tabu tentang apa itu sakit secara mental, tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa depresi atau bahkan bunuh diri disebabkan oleh kurang kuatnya iman seseorang.
Komentar