Oleh: Amiratul Haq, Azzahra Fatrica Madesya, dan Purnawati
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat Unsri (Peminatan Epidemiologi)
Editor: Ullya Fitri Samsuri
Email: [email protected]
Kasus HIV AIDS pada remaja di Indonesia menunjukkan angka yang kian meningkat. Di Indonesia, hingga tahun 2018, pengidap HIV pada anak dan remaja (di bawah 19 tahun), mencapai 2.881 orang. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2010, yaitu sebanyak 1.622 anak terinfeksi HIV. Remaja beresiko sangat tinggi, karena beberapa faktor seperti remaja memiliki hubungan yang singkat bersama pasangan yang banyak (pacar), faktor perilaku, dan perkembangan emosionalnya.

Belakangan ini sosial media dihebohkan dengan kasus positif HIV/AIDS di kota Palembang. Mengutip dari salah satu berita online (kumparan) – Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumsel, sepanjang 2022 kota Palembang menjadi daerah terbanyak kasus HIV dengan jumlah mencapai 116 kasus.
Kasi Pengendalian Penyakit Menular (P2M) Dinas Kesehatan Sumsel Mulyono mengungkapkan, tahun ini HIV meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sampai bulan juli 2022 kasus terpapar HIV dikabarkan telah mencapai 185 kasus.
“Untuk kasus HIV AIDS ini didominasi laki-laki usia 20-29 tahun dan 30-39 tahun atau usia-usia produktif,” kata dia, jumat (2/9)
Sementara, data Dinas Kesehatan Kota Palembang, ada 185 kasus HIV sepanjang Januari sampai bulan Juli 2022. Dari 185 kasus, 116 nya disebabkan Lelaki Sama Lelaki (LSL) atau gay. Palembang menjadi kota tertinggi di Sumsel dengan HIV terbanyak.
Dilihat dari fenomena di atas kasus HIV AIDS pada remaja akan semakin tidak terkontrol apabila tidak dilakukan tindakan khusus dari stakeholder mengenai permasalahan ini. Untuk itu perlu adanya pengendalian terkait kejadian HIV AIDS pada remaja salah satunya yaitu dengan memberikan pengetahuan dan edukasi mengenai tes HIV sejak dini. Tes HIV AIDS penting dinormalisasi agar remaja dapat mengetahui status HIV mereka. Jika dinyatakan positif HIV AIDS maka bisa dilakukan pengobatan sedini mungkin dan bagi remaja yang tidak positif bisa mendapatkan edukasi dan konseling HIV.
Determinan Sosial Pentingnya Normalisasi Tes HIV pada remaja

Faktor Individu
Dari faktor individu, banyak remaja yang kurang paham mengenai tes HIV. Remaja kurang tahu bagaimana prosedur ketika ingin melakukan tes HIV dan dimana mereka bisa melakukan tes HIV. Banyak remaja yang takut dan malu untuk melakukan tes HIV karena adanya pandangan buruk dari masyarakat dan tenaga kesehatan. Remaja juga menganggap bahwa tes HIV hanya diperuntukkan pada pasutri dan ibu hamil.

Sumber foto: RadarGorontalo.com ilustrasi (Anwar/RG)
Faktor Keluarga
Selain faktor individu, keluarga juga menjadi faktor penting dalam penanganan HIV AIDS. Peran keluarga dalam edukasi untuk tidak melakukan seks bebas kepada anak, mencegah anak melakukan perbuatan yang tidak wajar, dan peran keluarga sebagai rumah dan juga tempat nyaman untuk bercerita segala permasalahan. Apalagi ketika remaja malu dan enggan buka suara mengenai isi hatinya. Keluarga pun terkadang kurang mendukung untuk lebih menjaga, bertanya, dan perhatian kepada anak-anaknya.
Faktor Pelayanan Kesehatan
Dari faktor pelayanan kesehatan, masih adanya tenaga kesehatan yang enggan untuk melayani atau mengobati pasien HIV. Ada berbagai alasan yang membuat penderita HIV semakin sulit untuk mengakses pelayanan kesehatan. Beberapa oknum tenaga kesehatan yang menatap sinis, pelayanan yang seolah dipersulit dan dibuat rumit membuat penderita HIV semakin berfikir seribu kali untuk berobat. Padahal tenaga kesehatan adalah garda terdepan yang seharusnya membuka tangan lebar-lebar agar para penderita tidak malu untuk berobat dan tidak merasa terkucilkan. Jika oknum tenaga kesehatan takut untuk melayani, bagaimana nasib penderita HIV?
Faktor Pendidikan
Dari faktor pendidikan, terlihat minimnya pembelajaran mengenai pergaulan bebas di kalangan remaja. Seharusnya sudah kita tanamkan pada remaja tentang pencegahan dini pada pergaulan bebas dan risikonya. Pencegahan dini dapat kita mulai dengan kerja sama dengan pihak sekolah atau tenaga pendidikan lain. Pembelajarannya dapat disisipkan saat bimbingan konseling dilaksanakan. Tidak hanya sebatas pembelajaran sekolah, bahkan ada cara lain dalam mengedukasi remaja. Remaja yang lekat dengan sosial media bisa dijadikan kesempatan emas dalam mengedukasi remaja secara online melalui sosial media. Sudah seharusnya sosial media diisi dengan hal positif dan mengedukasi, ditambah edukasi penting mengenai HIV pada remaja.
Faktor Sosial
Dari faktor sosial, seringkali kita mendengar desas-desus masyarakat yang masih takut dengan pasien HIV, bahkan menganggap penderita HIV bagaikan momok atau virus mematikan. Takut untuk mendekat, menyapa, membantu dan bahkan malu ketika ada kerabat terdekat yang terkena HIV. Stigma-stigma negatif yang muncul ini tentu makin membuat penderita HIV semakin kecil dan malu untuk mengakui keadaannya. Tak jarang, penderita HIV enggan untuk buka suara mengenai keadaannya karena mereka takut akan respon kerabat terdekat dan masyarakat. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus, maka penyebaran HIV akan semakin meluas secara diam dan rahasia.
Faktor Ekonomi
Adapun dari faktor ekonomi, remaja menganggap bahwa untuk melakukan tes HIV membutuhkan biaya yang besar. Remaja pun takut ketika dinyatakan positif, akan membutuhkan biaya yang lebih besar untuk pengobatan HIV.
Lalu, apa saja upaya yang harus dilakukan remaja untuk menghindari agar mereka tidak terkena dampak dari maraknya kejadian HIV ini? Remaja bisa memilih teman, mana teman yang baik dan mana yang tidak. Tujuan remaja memilih teman ini bukan dengan maksud nantinya membeda – bedakan akan tetapi agar remaja bisa terhindar dari pergaulan – pergaulan yang saat ini sudah terlalu bebas dari pergaulan pada umumnya. Remaja bisa mulai untuk menggunakan internet, social media secara positif, ambil sisi positifnya dan tinggalkan sisi negatifnya. Selalu bentengi diri dengan keimanan dan juga perbekal diri dengan menambah pengetahuan mengenai cara pencegahan HIV dan juga tes – tes HIV.
Normalisasi tes HIV pada Remaja di Indonesia, Mungkinkah?
Kemudian, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah mungkinkah remaja melakukan tes HIV secara bebas dan tidak malu akan hal itu? Apakah bisa menormalisasi tes HIV kepada remaja? Jawabannya tentu saja mungkin jika pemerintah, masyarakat, pihak akademisi, mendukung adanya himbauan akan tes HIV, iklan mengenai pencegahan HIV, pembekalan materi mengenai kehidupan seksual pada remaja dan juga menggalakkan sosialisasi tes VCT kepada remaja baik itu di sekolah, di iklan, ataupun di universitas.
Komentar