Oleh: Azzahra Maharani, Nur Kartika Putri, dan Nyayu Septia
Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat UNSRI (Peminatan Epidemiologi)
Editor : Azzahra Maharani
Email: [email protected]
Belakangan ini, kasus kekerasan seksual di pondok pesantren terus bermunculan bak fenomena gunung es dimana kasus tersebut mulai mencuat satu persatu yang apabila digali lebih dalam akan terlihat masih banyaknya kasus yang tidak terungkap. Suatu institusi pendidikan yang menjadi wadah memperdalam ilmu agama, malah dijadikan ajang bagi para petinggi pesantren memuaskan nafsu bejat mereka.
Salah satu kasus yang menggegerkan publik adalah kasus Herry Irawan, seorang pemilik dan pengurus Pondok Tahfiz Al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Anatapani dan Madani Boarding School, Bandung, Jawa Barat yang telah memerkosa 13 santriwatinya. Hikmat, salah satu paman korban mengatakan kepada BBC Indonesia, kejadian bejat tersebut pertama kali terungkap oleh orang tua salah satu korban yang pulang ke Garut saat hari Lebaran, bulan Mei 2021, mereka melihat adanya perubahan pada buah hatinya tersebut. Setelah diusut, ternyata korban mengaku telah diperkosa oleh Herry yang merebak ke korban lainnya dan kemudian segera dilaporkan oleh pihak keluarga ke Polda Jawa Barat . Dikutip dari Vice Indonesia, usut punya usut, perilaku biadab Herry Irawan ini telah dilakukan sejak 2016-2021 dengan modus pura-pura meminta dipijat di kamarnya hingga iming-iming “akan dinikahi”, “dibiayai kuliah”, dan “akan dijadikan polwan” bahkan adanya paksaan dan intimidasi yang dilakukan dengan dogma “harus taat kepada guru” yang mendorong korban akhirnya menuruti kemauan Herry.
Kasus yang dilakukan Herry hanyalah segelintir kasus kekerasan seksual di pondok pesantren yang terungkap ke publik dimana adanya kemungkinan masih banyaknya kasus kekerasan seksual yang tidak terungkap bahkan ditutupi oleh pihak pesantren guna menjaga nama baik institusi.
Meninjau Data Kekerasan Seksual dan Diskriminasi Berdasarkan Jenjang Pendidikan di Indonesia

Gambar 1. Kekerasan Seksual dan Diskriminasi berdasarkan Jenjang Pendidikan
Sumber: (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2020)
Berdasarkan Data Komnas Perempuan, terdapat 51 kasus aduan kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan di Indonesia sepanjang 2015-2020 dengan universitas menduduki posisi pertama yaitu 27% diikuti pesantren atau pendidikan berbasis agama Islam sebesar 19%, di tingkat SMU/SMK sebesar 15%, di tingkat SMP 7% serta masing-masing di TK, SD, SLB dan pendidikan berbasis agama Kristen sebesar 3%. Bentuk kekerasan tertinggi yang terjadi yaitu kekerasan seksual dengan 45 kasus atau 88% meliputi kasus perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual, diikuti kekerasan psikis dan dikriminasi berupa dikeluarkan dari sekolah sebanyak 5 kasus atau 10% (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 2020).
Data tersebut mencerminkan bahwa pondok pesantren sebagai institusi pendidikan yang dipercaya para orang tua sebagai tempat aman bagi anaknya dalam mengenyam ilmu, melainkan menjadi tempat kedua tertinggi bagi ladang kasus kekerasan seksual. Tentunya, hal tersebut mengandung arti bahwa diperlukan adanya langkah perombakan mengenai sistem penyelenggaran pendidikan pesantren yang menekankan pencegahan terjadinya kekerasan baik kekerasan fisik maupun seksual bagi santri/santriwati.
Determinan Sosial Mengapa Kekerasan Seksual dapat Terjadi di Lingkungan Pendidikan Pondok Pesantren

Gambar 2. Determinan Penyebab Kekerasan Seksual di Pesantren (Dikembangkan oleh Azzahra Maharani, Nur Kartika Putri, dan Nyayu Septia, 2022)
Faktor Individu
Faktor individu yang mempengaruhi terjadinya kekerasan seksual di Pondok Pesantren dapat dilihat baik dari segi pelaku maupun korban. Berdasarkan penelitian Kayowuan Lewoleba & Helmi Fahrozi (2020), dari sudut pandang pelaku, faktor tersebut dapat berupa kejiwaan atau kondisi dari diri pelaku itu sendiri yang tidak normal sehingga mendorong seseorang melakukan kejahatan. Contohnya, nafsu seks abnormal yang menyebabkan pelaku melakukan tindak kekerasan seksual kepada korbannya tanpa mengetahui keadaan yang dialaminya. Selain itu, faktor tersebut dapat pula berhubungan dengan biologis seseorang yang berkaitan dengan kebutuhan seksual yang harus dipenuhi serta moral yang rendah yang dimiliki oknum pelaku sehingga mendorong terjadinya perilaku menyimpang tersebut.
Sedangkan, berdasarkan sudut pandang korban, terdapat adanya relasi kuasa antara petinggi pesantren dengan para santri/santriwati yang memposisikan ustadz, gus ataupun kyai pada kedudukan yang tinggi dibandingkan pengurus pesantren dan para santri/santriwati. Berdasarkan penelitian Pebriaisyah et al. (2022), pada lingkungan pesantren, hubungan antara petinggi pesantren dan para santri/santriwati merupakan hubungan yang bersifat patron sehingga ustadz, gus atau kyai dipandang sebagai sosok ahli agama dan berakhlak mulia serta memiliki kekuasaan, kewenangan, dan otoritas penuh terhadap pondok pesantren sehingga mereka berpengaruh dan dijadikan role model dalam lingkungan masyarakat, sedangkan para santri/santriwati memiliki kedudukan yang lebih rendah daripada petinggi pesantren dimana mereka berkewajiban untuk selalu hormat dan taat atas segala perintah kyai yang dimana dikenal dengan prinsip “Sami’na wa atho’na”. Prinsip “Sami’na wa atho’na” yang mengandung arti “Kami mendengar dan kami patuh” telah berbudaya di lingkungan pesantren yang mendorong para santri/santriwati untuk selalu patuh terhadap apa yang diperintahkan oleh kyai sebagai bentuk sikap tawadhu agar memperoleh ridho dan keberkahan.
Kondisi relasi kuasa di lingkungan pesantren tersebut menyebabkan posisi para santri/santriwati menjadi tidak diuntungkan dan dapat dimanfaatkan oleh oknum pelaku dalam melancarkan urusan nafsu seksualnya di lingkungan pesantren. Pada lingkup kasus kekerasan seksual, tentunya relasi kuasa dan prinsip tersebut menjadi suatu kerugian bagi perempuan atau santriwati yang tidak mempunyai daya tawar dikarenakan harus patuh dan taat atas aturan yang diberikan oleh oknum pelaku. Ditambah lagi, adanya dogma yang membawa agama yang semakin mendorong dan memanipulasi para santriwati untuk percaya dan menuruti perintah atau kemauan biadab tersebut.
Faktor Interpersonal
Terdapat beberapa bentuk modus pelaku melakukan perbuatan pelecehan seksualnya, yakni:
1. Modus ke-1 pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap santri dengan cara pelaku melakukan pendekatan terhadap santri dengan menawarkan sesuatu seperti menjanjikan dibiayai kuliah hingga dinikahi. Modus ini menjadi salah satu modus yang dilakukan Herry Irawan. Dilansir dari Kumparan News, pengasuh sekaligus pemilik pondok pesantren di Cibiru, Kota Bandung, Herry Iirawan alias Heri bin Dede melancarkan aksi bejatnya dengan merayu para korban dan berjanji akan menikahi korban serta bayi yang dilahirkan akan dirawat hingga kuliah.
2. Modus ke-2 pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap santri dengan cara pelaku mengajaknya ke suatu tempat dengan iming-iming akan diberi sejumlah uang atau hadiah. Salah satu contoh kasusnya adalah kasus pencabulan yang terjadi di Pondok Pesantren Ihya’ Ulumiddin di Desa Padang, Kecamatan Singojuruh, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dilansir dari DISWAY.ID, pelaku bernama Fauzan merupakan salah satu kiai pengasuh di pondok pesantren tersebut dan melakukan pencabulan kepada 5 santriwatinya dengan modus memberi uang sebesar Rp 500.000 setiap berhubungan. Pencabulan itu dilakukan di rumahnya sendiri dimana masih satu kawasan dengan Pondok Pesantren Ihya’ Ulumiddin.
3. Modus ke-3 pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap santri dengan cara atau modus memberikan minuman. Contoh kasusnya adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren di Tasikmalaya. Dilansir dari Indopolitika, tercatat telah ada 5 orang santriwati yang menjadi korban cabul ustad bernama Anwar Sidik (AS) tersebut. Informasinya, pelaku beraksi saat korban yang sedang sakit dan dirawat untuk istirahat di kobong, disitulah terduga pelaku datang dengan berpura-pura memberi perhatian dan memberikan air doa kepada santriwati hingga akhirnya dilakukan pencabulan.
4. Modus ke -4 pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap santri dengan cara atau modus kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap santri atau korbannya. Salah satu contoh kasus dari modus tersebut adalah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Pondok Pesantren Siddiqiyyah, Jombang yang dimana pelaku yang dikenal dengan Mas Bechi merupakan putra dari pemimpin Pondok Pesantren Siddiqiyyah sekaligus kiai ternama di Jombang. Dilansir dari Detik News, modus kekerasan seksual yang dilakukan pelaku adalah dengan mengaku memiliki ilmu metafakta yang diklaim tidak dapat dijelaskan oleh nalar dan memaksa korban untuk melepaskan pakaiannya dan terjadilah peristiwa kekerasan seksual tersebut. Dengan dalih ilmu yang dimiliki, pelaku mengancam bahkan menghajar korban apabila tidak ingin menuruti kemauan nafsu pelaku.
Berdasarkan modus-modus pelecehan seksual yang dilakukan terhadap santri di bawah umur tersebut, pada dasarnya sangat beragam modus yang dilakukan pelaku, sehingga pelaku dapat melakukan perbuatannya dan demi mencapai kepuasan seksualnya yang dilampiaskan kepada para santri.
Faktor Agama
Dalam beberapa kasus, agama dijadikan sebagai salah satu cara untuk mendominasi korban dengan memberikan doktrin ayat dan dalil yang mengharuskan mereka untuk mengikuti perintah dari pelaku demi menjaga hafalan atau mendapat berkah padahal sebenarnya tidak ada satupun dalil yang membenarkan tindak kekerasan seksual.
Pendidikan seksualitas dalam agama seringkali dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan sesuatu yang ‘kotor’ untuk dibicarakan. Selain itu, pendidikan seksualitas terkadang dipandang mengkhawatirkan karena takut membawa pengaruh buruk terhadap perilaku seksual santri. Padahal berdasarkan penelitian Rahman (2018), dalam perspektif agama Islam, pendidikan seksualitas ditujukan agar dapat memberikan pengetahuan tentang perubahan-perubahan biologis pada manusia, alat-alat reproduksi, dan fungsinya serta bagaimana cara untuk menjaga alat-alat reproduksi yang dimilikinya tersebut dengan menanamkan moral, etika serta komitmen agama Islam agar tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi tersebut.
Faktor Orang Tua dan Keluarga
Sebagai orang tua tentunya ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Bagi sebagian orang tua, memasukkan anak ke pesantren merupakan salah satu upaya mereka untuk memfasilitasi anak dengan kualitas pendidikan islam yang terbaik. Orang tua percaya bahwa di pesantren anak mereka bisa mendapatkan ilmu yang lebih baik dan orang tua percaya bahwa ustaz dan ustazah di pesantren adalah guru yang baik. Sikap orang tua yang terlampau memercayai pesantren membuat orang tua lebih memihak dan memercayai pesantren terlebih anak mereka sendiri. Dalam beberapa kasus dijelaskan bahwa beberapa anak sudah berusaha menjelaskan kepada orang tua mereka mengenai keadaan mereka, tetapi orang tua mereka tidak memberikan respon yang baik bahkan tak jarang menyalahkan anak terhadap apa yang terjadi.
Padahal orang tua dan keluarga adalah dukungan terbaik yang seharusnya dimiliki anak dalam situasi sulit mereka. Selain itu, sistem asrama di pesantren menyebabkan terbatasnya interaksi dan komunikasi santri dengan orang tua dan keluarga sehingga jika terjadi sesuatu yang buruk atau santri merasa terancam, santri tidak selalu bisa membicarakannya dengan orang tua mereka.
Faktor Kebijakan
Masih kurangnya kurikulum dan pendidikan seksual di pesantren dikarenakan pandangan tabu yang masih merajalela yang dianggap membenarkan adanya seks bebas. Hal ini menyebabkan para santri masih memiliki pengetahuan yang minim mengenai seksualitas.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (PKS) pada selasa, 12 April 2022. Hal ini dapat menjadi tonggak awal keadilan bagi para korban. Namun, sosialisasi mengenai RUU ini dan penerapannya perlu lebih digalakkan di wilayah pesantren karena lingkungan pesantren yang tertutup dan eksklusif dapat membatasi para santri untuk berkomunikasi dengan pihak luar.
Selain itu, banyak kasus yang hukuman pada korban tidak terlaksana dengan seharusnya dikarenakan pihak pesantren yang mencoba menutupi kasus dan melindungi korban.
Namun, kini telah ada pesantren yang terbuka akan penerapan kurikulum atau pendidikan seksual di institusinya. Salah satu pesantren yang yang telah menerapkan pemberian pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas pada santri/santriwatinya adalah Pesantren Darul Altam, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dikutip dari SwaraRahima, informasi kesehatan reproduksi dan seksual di lingkungan Pesantren Darul Altam tersebut diberikan melalui Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksual (PKRS) yakni suatu program untuk mendidik para guru dan santri/santriwati dalam beragam pelatihan dan forum diskusi yang bertujuan agar para santri/santriwati dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan sebagai pendidik bagi teman sebaya dan para guru dapat berperan dalam mengintegrasi PKRS yang disesuaikan dengan proses belajar mengajar. Selain itu, keberlangsungan PKRS tersebut pun mendorong terbentuknya organisasi Pusat Informasi dan Konseling Kesehatan Reproduksi Remaja (PIK-KRR) yang bernama As-Salam yang dijadikan sebagai wadah bagi para santri/santriwati berdiskusi mengenai berbagai permasalahan kesehatan reproduksi yang dialaminya dan mencari penyelesaian atas masalah tersebut bersama.
Apa yang perlu dilakukan?
Kejadian kekerasan seksual saat ini sudah marak terjadi di segala sektor. Bahkan pesantren menduduki peringkat kedua tertinggi kejadian kekerasan seksual setelah Perguruan Tinggi (PT).
Maka dari itu, perlu dilakukan upaya untuk mengatasi hal ini, diantaranya dengan membuat kurikulum pendidikan seksual di pesantren. Kurikulum pendidikan seksual ini haruslah dibuat secara komprehensif agar para santri dapat memproteksi diri mereka dari upaya kekerasan seksual dalam bentuk apapun. Para santri juga diharapkan mampu untuk memiliki otoritas terhadap tubuhnya sehingga tidak berada dalam powerless ketika menjadi korban. Selain itu santri juga harus memahami alur pelaporan ketika melihat atau mengalami kekerasan seksual.
Di pihak pesantren, haruslah bersikap tegas terhadap kasus ini. Jika terjadi kekerasan seksual, siapapun pelakunya, harus ditindaklanjuti secara adil. Terlepas pelakunya merupakan guru, pimpinan, atau yang memiliki kekuasaan.
Komentar