Penulis:
Eliska Yulianti
Emir Tauladany Muhammad
Ismi Oktaviani
Editor: Athiyah Ashilah
E-mail: ismi.oktaviani.041002@gmail.com
Pernahkah kalian dijalanan umum mendengar siulan, dipanggil dengan sebutan “sayang”, “cantik”, “neng”, atau “cuit” dengan nada yang menggoda? Nah, itulah beberapa bentuk perilaku catcalling. Dimulai dari diamati tubuhnya oleh orang asing hingga sampai pada perbuatan yang menimbulkan suatu bentuk rabaan yang tidak diharapkan, dan menimbulkan rasa tidak aman ini dikategorikan sebagai street harassment. Catcalling sendiri termasuk bentuk pelecehan seksual jenis street harrastment, yaitu dengan melontarkan komentar sensual dengan nada yang menggoda dan sering dijumpai di tempat-tempat umum.
Mengutip dari berita online (Kompas.com)-Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat menjelaskan, catcalling merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual dalam bentuk kekerasan verbal atau kekerasan psikis. Dapat juga dikatakan sebagai kekerasan seksual ringan. Kekerasan seksual ringan dapat berupa seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan, porno, siulan, ejekan, dan secara non verbal seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh ataupun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual tidak dikehendaki bersifat melecehan dan/atau menghina korban.
Perbuatan yang tergolongan perilaku kekerasan kepada wanita adalah pelecehan seksual di jalan (sexual street harassment) seperti catcalling telah menjadi masalah sosial. Menurut riset yang diadakan oleh Hollaback.org ada 71 % wanita di dunia pernah mengalami street harassment sejak usia puber (11-17 tahun) hingga sampai pada masa dewasa, dan lebih dari 50% diantaranya termasuk pelecehan fisik dan sisanya adalah pelecehan secara verbal dan visual. (Kartika and Najemi, 2021)
Catcalling kerap terjadi di kalangan dewasa bahkan remaja. Korban catcalling paling sering dialami oleh wanita. Namun, tidak terkecuali laki-laki juga bisa mengalaminya. Pelecehan seksual verbal seperti catcalling dapat terjadi di mana saja, baik di tempat umum seperti pasar, terminal, pinggir jalan, angkutan umum, bahkan kerap terjadi di sekolah ataupun kampus.
Catcalling terkadang menjadi bentuk tingkatan maskulinitas laki-laki. Mereka yang berani melakukannya dianggap gentle di tempat tongkrongan. Keadaan sosial ini menjadikan laki-laki tak ragu melontarkan kalimat-kalimat rendahan kepada perempuan yang melewatinya. Seseorang yang telah melakukannya akan mendapatkan rasa puas dan sanjungan dari lingkungan sosialnya sedangkan mereka yang tidak melakukannya dianggap tak punya nyali.
Berikut faktor social determinant of health yang menjadi penyebab tindakan catcalling
1. Faktor individu
Pada faktor individu, adanya keengganan pada korban untuk melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami di ruang publik karena adanya anggapan pelecehan seksual verbal atau catcalling ini masih wajar dalam pandangan masyarakat, menyalahkan pakaian yang dikenakan korban, dan menganggap perbuatan tersebut adalah hal yang dibuat-buat dan sepele sehingga masih banyak orang yang tidak peduli dengan tindakan catcalling ini.
2. Faktor sosial dan budaya
Terjadinya catcalling ini dipengaruhi oleh ketidaksetaraan gender yang terjadi dalam hubungan interaksi pada laki-laki dan perempuan. Ketidaksetaraan gender ini disebabkan karena menempatkan salah satu gender yang lebih dominan daripada gender yang lainnya, dalam masyarakat Indonesia hal ini terjadi karena masyarakat masih melanggengkan budaya patriarki yang menempatkan perempuan sebagai objek sosial, mendapat stereotype seperti lemah dan tidak berdaya, sementara laki-laki ditempatkan lebih dominan karena stereotype lebih kuat dan maskulin.
Hal ini disebabkan karena seiring perkembangan zaman, kesetaraan menjadi hal yang sulit dirasakan akibat timbulnya penyimpangan nilai-nilai sosial yang salah satunya berupa pelecehan secara verbal atau catcalling.
Selain itu, kondisi lingkungan di masyarakat memiliki peranan penting dalam membentuk rasa aman dan nyaman sehingga dapat terhindar dari perilaku catcalling. Kondisi lingkungan yang mewajarkan tindakan tersebut tentu juga dapat mengganggu kondisi psikis bagi korban karena perasaan takut, stress, dan tertekan.
3. Faktor Pendidikan
Pada segi pendidikan, bagi masyarakat yang kurang edukasi akan terbatas kemampuannya dalam memilah bahasa yang baik. Oleh karena itu, kemampuan memilah kata dalam berinteraksi tidak akan membuat seseorang melontarkan kata yang tidak baik seperti tindakan catcalling.
4. Implementasi Kebijakan
Dalam hal ini dimana peran daripada pemerintah sangat diperlukan dalam membentuk kebijakan karena tindakan ini dirasa perlu adanya kebijakan atau aturan khusus mengenai larangan melakukan tindakan catcalling. Kondisi tersebut bagi para korban dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan. Oleh karena itu setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan.
Jika dilihat dari prespektif hukum pidana bahwa pelecehan seksual verbal (catcalling) adanya penggabungan terhadap aturan yang mengatur perbuatan tersebut, seperti dalam Pasal 281 Ayat (2) Pasal 289, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi digunakan untuk penyelesaian perbuatan catcalling (pelecehan seksual verbal) terhadap perempuan di Indonesia. (Kartika and Najemi, 2021)
Dilansir dari situs Hakita, ternyata di beberapa negara lain, catcalling bisa ditindak secara hukum. Pelaku bisa diberikan sanksi mulai dari denda sampai ancaman penjara. Negara-negara maju seperti Belgia, Portugal, Selandia Baru, Perancis serta Amerika Serikat sudah punya undang undang yang mengatur pelecehan secara verbal. Kalau di Belanda, catcalling dimasukkan sebagai perbuatan kriminal dimana pelaku bisa diberikan sanksi berupa denda sebesar 8200 euro (sekitar Rp 138 juta) atau tiga bulan penjara. Di Perancis catcalling juga bisa dikenakan sanksi hukum. Pemerintah disana juga meminta perempuan untuk tidak segan melaporkan kasus catcalling.
Lalu apa yang harus dilakukan?
Diperlukan adanya tindakan tegas dari pemerintah dalam menangani catcalling yang seringkali terjadi di tempat-tempat umum. Adapun saran dari kami, yang harus dilakukan ialah:
· Membuat kebijakan publik yang mengatur tentang keamanan dan kenyamanan bagi semua orang saat berada di tempat umum.
· Memberikan penyuluhan bagi para korban catcalling yang mengalami trauma, ketakutan dan kepanikan saat berada di tempat umum dengan memberikan dukungan moral dan membangkitkan keberanian menghindari apabila tindakan catcalling berujung pada pemerkosaan.
· Memberdayakan remaja agar menghindari perilaku kekerasan dan pelecehan seksual termasuk tindakan pelecehan seksual verbal seperti tindakan catcalling, karena bisa saja menjadi tindakan merugikan bagi orang lain sebagai korban.
· Perlunya penerapan aturan secara khusus perbuatan catcalling merupakan suatu upaya untuk memberikan perlindungan bagi korban catcalling. Mengenai penjatuhan sanksinya harus sesuai dengan dampak yang ditimbulkan dan lebih mengutamakan sanksi berupa denda. Namun jika catcalling sampai kepada perbuatan yang fatal seperti pemerkosaan, akan dikenakan pidana.
· Apabila mengalami tindakan catcalling, jawablah dengan tegas bahwa tindakan yang mereka lakukan itu salah dan tidak sopan, tetapi usahakan tidak terpancing emosi karena hal itu dapat membuat pelaku merasa berhasil karena telah membuat kesal orang. Tetap tenang, percaya diri dan berani melapor merupakan tindakan yang tepat untuk membuat jera si pelaku.
Menurut (Kirnandit, 2017), ada beberapa tips yang dapat kamu lakukan ketika menjadi korban catcalling, diantaranya:
1. Tatap wajah pelakunya.
2. Jalan terus.
3. Jangan mudah terpancing.
Menerapkan beberapa tips tersebut membutuhkan sebuah keberanian. Akan tetapi, menjadi berani bukanlah hal yang mudah. Meskipun sulit dan tidak semua orang bisa melakukannya, tidak perlu khawatir karena kita bisa belajar secara perlahan. Berani yang dimaksud bukan hanya berani melawan, tetapi juga berani berbicara, percaya diri, berani tunjukkan bahwa mereka tidak bisa bertindak semaunya. Kita perempuan, harus berani, tidak takut, dan harus kuat!
Data yang diperoleh /sumber:
Dewi, I. A. A. (2019) ‘Catcalling : Candaan, Pujian atau Pelecehan Seksual’, Acta Comitas: Jurnal Hukum Kenotariatan, 4(2), pp. 198–212. doi: 10.1093/bjc/azw093.
https://thecolumnist.id/artikel/catcalling-pelecehan-seksual-yang-dianggap-wajar-oleh-sebagian-masyarakat-2090
https://www.brilio.net/creator/pernah-mengalami-catcalling-ini-3-cara-ampuh-menghadapinya-5c10e7.html
https://www.gramedia.com/best-seller/catcalling/
https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/08/060400765/apa-itu-catcalling-dan-mengapa-termasuk-pelecehan-?page=all
https://www.liputan6.com/islami/read/5046878/susan-sameh-jadi-korban-catcalling-ini-pandangan-fiqih-islam-tentang-pelecehan-seksual
Kartika, Y. and Najemi, A. (2021) ‘Kebijakan Hukum Perbuatan Pelecehan Seksual (Catcalling) dalam Perspektif Hukum Pidana’, PAMPAS: Journal of Criminal Law, 1(2), pp. 1–21. doi: 10.22437/pampas.v1i2.9114.
Pitaloka, E. P. T. R. and Putri, A. K. (2021) ‘Pemaknaan kekerasan simbolik dalam pelecehan seksual secara verbal (catcalling)’, Journal of Development and Social Change, 4(1), pp. 90–114.
Komentar