Opini mahasiswa: dr Sri Putri Handayani
(Mahasiswa Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya)
Email: Putzai_putri@yahoo.com
Bicara mengenai LSL, atau Lelaki Seks Lelaki, tentu menjadi issue yang hangat untuk dibicarakan. Sering kali kita mendengar bahwa mengapa hal ini terjadi? Apakah ada yang salah dengan komunitas tersebut? Terminologi LSL diadopsi dari istilah MSM (men who have sex with men), yaitu istilah kesehatan masyarakat yang digunakan untuk menjelaskan perilaku seksual laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki tanpa melihat identitas gender, motivasi terlibat dalam hubungan seks dan identifikasi dirinya dengan komunitas tertentu.
Nah, untuk memahami mengapa hal-hal tersebut bisa “melekat” pada komunitas LSL, maka kita perlu mengenal lebih dalam kehidupan LSL ini. Ibarat pepatah mengatakan “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta”.
Saya akan mengawali informasi ini melalui sebuah kisah yang sangat menarik. Kisah ini merupakan kisah nyata dari seorang LSL yang hingga saat ini berjuang dengan statusnya. Apakah ada yang salah? Tidak. Menurut “Bambang” (nama samaran), kehidupannya saat ini adalah anugrah dari Tuhan karena tidak semua orang bisa seperti dia. Hal ini berawal dari masa kecil Bambang yang telah menyadari ada yang janggal dengan dirinya sejak di duduk di bangku SD.
Bambang memiliki seorang adik perempuan dan hubungan mereka sangat erat dan dekat. Sejak kecil mereka selalu bersama, kemana-mana bersama serta memiliki hobi yang sama. Singkat cerita, adiknya Bambang kemudian akhirnya meninggal dan memberikan kesedihan yang mendalam untuk Bambang. Pasca kepergian adiknya, Bambang mulai berubah, dimulai dari kepribadiannya, tingkah lakunya serta hobi dan kebiasaanya yang lebih mirip ke adiknya. Hingga usianya dewasa, Bambang selalu bertingkah seperti layaknya perempuan dan menyukai sesama jenisnya.
Bambang sangat menyadari sekali bahwa ada yang salah dengan dirinya. Namun setiap hal itu terjadi, dia selalu menganggap ini adalah anugrah yang tidak semua orang memiliki karakter seperti dia. Hingga akhirnya Bambang kemudian menjalin hubungan dengan sesama jenisnya, terus dan terus bergonta-ganti karena baginya bertemu dan menjalin hubungan dengan sesama jenisnya semakin membuatnya lebih percaya diri.
Dan, puncaknya adalah ketika salah satu mantan dari pasangannya masuk RS yang diinformasikan menderita HIV/AIDS. Kabar tersebut membuat Bambang khawatir dan memutuskan untuk memeriksakan dirinya segera ke Rumah Sakit. Hasil pemeriksaan pun menunjukkan hasil yang sama dan Bambang pun harus menerima kenyataan bahwa dia menderita penyakit yang seumur hidup akan diperjuangkan. (Catatan Lapangan Putri).
Dari kisah Bambang, banyak hal yang perlu dibahas mengenai LSL dan pelajaran yang bisa kita petik untuk kedepannya. Tidak ada data statistik pasti mengenai jumlah homoseksual di Indonesia, namun menurut estimasi nasional tahun 2021 terdapat 695.026 orang gay/LSL di Indonesia. Diasumsikan secara global laki-laki usia 15-49 tahun melakukan seks dengan laki-laki secara teratur, dan hampir 15% diantara mereka satu kali seumur hidup (Siregar, 2021). Berdasarkan data Kemenkes RI jumlah infeksi HIV yang dilaporkan menurut faktor risiko tahun 2016 LSL merupakan faktor risiko ke dua tertinggi setelah heteroseksual yaitu 39%.
Perilaku seksual yang dilakukan oleh LSL adalah orogenital (oral seks), anogenital (anal seks) dan masturbasi. Salah satu hubungan seksual yang paling beresiko yang banyak dilakukan oleh LSL merupakan teknik hubungan seks melalui anal (anal intercouse). Pria dengan peran reseptif memiliki risiko lebih besar terinfeksi HIV dibandingkan pria dengan peran insertif, hal ini dikarenakan anus tidak didesain untuk berhubungan seksual hingga akan mengalami perlukaan saat melakukan anal seks dan memudahkan masuknya HIV kedalam tubuh.
Teman-teman LSL biasanya membentuk komunitas tertentu untuk mendapatkan penerimaan dari sesama LSL dan untuk memperlihatkan jati diri mereka. Mereka akan berani mengungkap identitas dan orientasi seksualnya karena merasa mengalami hal yang sama dengan LSL lainnya. Apalagi, sekarang aplikasi sosial media dan aplikasi lainnya, bisa mudah menemukan teman sesama LSL. LSL melakukan hubungan seksual dimulai dengan mencari pasangan seksual melalui pertemuan komunitas atau LSL baru lainnya di pertemuan rutin, tempat umum atau tempat khusus LSL lain yang lebih dahulu mereka temui secara viral dimedia sosial atau jejaring sosial internet lainnya.
Satu hal yang perlu kita ketahui bahwa komunitas LSL ini akan tetap ada dan pastinya yang perlu diingat adalah bahwa LSL tidak selalu dikaitkan dengan HIV atau infeksi menular lainnya. Stigma seperti ini yang harus segera di minimalisir di pelayanan kesehatan dan masyarakat umumnya. Namun, yang harus kita upayakan saat ini adalah apa yang dapat kita lakukan untuk mencegah terjadinya penularan infeksi berbagai penyakit pada saat mereka berhubungan seksual.
Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan yaitu dengan menggunakan alat kontrasepsi (kondom) pada saat melakukan hubungan seksual, rajin untuk memeriksakan diri pada kelompok yang beresiko termasuk pemeriksaan skrining HIV dan penyakit menular seksual lainnya, serta memberikan edukasi atau konseling kepada kelompok orang tua, remaja, maupun masyarakat yang merasa atau diduga orientasi seksualnya mengarah homoseksual mengenai masalah orientasi seksual, kesehatan reproduksi dan penyakit menular seksual termasuk HIV/AIDS.
Dengan upaya ini diharapkan dapat menjadikan pembelajaran sebagai upaya dalam menurunkan penularan HIV/AIDS pada kelompok beresiko, khususnya LSL melalui hubungan seks yang aman. Tidak mudah untuk membuka diri di hegemoni heteroseksual di Indonesia, tapi dimulai dari komunitas terdekat menjadi upaya yang dilakukan teman-teman LSL untuk saling menjaga.
Komentar