Opini Mahasiswa: Febria Mandeka, SKM
(Mahasiswa Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya)
Email: febline2014@gmail.com
“Di sisi agama itu, kadang-kadang mendapat perkataan seperti ‘anak itu bencong jangan dekat-dekat nanti najislah, haramlah, nyuri sandal, segala macam’ jadi temen-temen tu menghindari tempat-tempat beragama padahal sebenernya teman-teman ada niat untuk membuka kesadaran” (Mak Juju, Transgender, 46 tahun, Booklet HIV: pencegahan, persepsi, dan resiliensi).
Hampir semua orang mengenal Waria atau sering disebut Wanita Pria. Istilah lainya adalah transgender. Waria adalah individu yang memiliki jenis kelamin laki-laki tetapi berperilaku dan berpakaian seperti layaknya seorang perempuan. Waria merupakan kelompok minoritas dalam masyarakat, namun demikian jumlah Waria semakin hari semakin bertambah, terutama di kota-kota besar serta daerah pedesaan.
Indonesia termasuk salah satu negara dengan jumlah waria yang cukup besar. Menurut data statistik yang dimiliki Persatuan Waria Republik Indonesia, jumlah waria yang terdata dan memiliki Kartu Tanda Penduduk mencapai 3.887.000 jiwa pada tahun 2007. Tahun 2015 jumlah waria semakin meningkat menjadi 7 Juta orang hingga sekarang (PPH Unika Atma Jaya, 2016 dan (http://edisinews.com, diakses pada Selasa, 3 Maret 2015)).
Berperilaku menjadi Waria memiliki banyak resiko. Waria dihadapkan pada berbagai masalah seperti: penolakan keluarga, kurang diterima atau bahkan tidak diterima secara sosial, dianggap lelucon, hingga kekerasan baik verbal maupun non-verbal. Karena belum diterimanya Waria dalam kehidupan masyarakat, maka kehidupan Waria menjadi terbatas dalam melakukan pekerjaan sehingga mereka hanya bekerja sebagai pekerja salon kecantikan dan kosmetik serta tidak menutup kemungkinan jika tidak memiliki pengalaman lain menjadi penjaja seks untuk memenuhi kebutuhan material maupun biologis.
Waria merupakan kaum yang paling marginal dalam penolakan di masyarakat sehingga mendapat perlakuan yang tidak adil dan diskriminasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Imran Tahir, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar dengan judul ‘’Tindakan Diskriminasi Terhadap Waria Pekerja Seks Komersial (PSK) di Taman Makam Pahlawan Panaikang Kota Makassar’’ dengan kesimpulan bahwa: Bentuk-bentuk diskriminasi terhadap waria yaitu
(a). Diskriminasi verbal perlakuan yang didapatkan seperti pengejekan serta pembullyan yang berupa kata-kata seperti bencong, banci dan bahkan waria menggunakan kata-kata kotor terhadap waria.
(b). Diskriminasi pengucilan dengan menghindari golongan tertentu secara sengaja karena ketidaksukaan Masyarakat terhadap waria sehingga melakukan tindak pengusiran.
(c). Diskriminasi Fisik, pandangan negatif Masyarakat terhadap waria, sehingga tidak jarang waria mendapatkan tindakan diskriminasi yang berupa fisik yang dimana kekerasan yang kerap di terima waria yaitu bentuk kekerasan seperti memukul dan melempar batu yang dapat mencederai waria. Dan ini menjadi masukkan untuk tidak mendiskriminasi kaum marginal tersebut sehingga mereka dapat melakukan hal positif yang tidak merugikan orang lain.
Sebagai pengalaman saya menjadi Tim Kesehatan beberapa tahun 2021 bersama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Provinsi berdasarkan data Kabupaten bidang pencegahan dan pengendalian penyakit bahwa jumlah kematian akibat HIV/AIDS selalu meningkat dan ada, walaupun mengalami peningkatan yang tidak secara drastis.
Di sinilah kami mengajak waria untuk berperan aktif dalam pemeriksaan dini penyebaran HIV/AIDS di kalangan Waria, berbagai kendala kami hadapi dalam melakukan pendekatan terhadap beberapa waria. Terlebih stigma mereka takut jika mereka memeriksakan kesehatan akan kelihatan penyakit yang dideritanya dan menjadi beban pikiran mereka, sehingga hanya segelintir Waria yang mau dan memiliki kesadaran untuk diperiksakan keadaan mereka.
Terlebih Waria yang sudah bekerja di luar kota dan memiliki resiko terhadap penyebaran HIV/AIDS dalam pekerjaannya memiliki minat yang tinggi terhadap Kesehatan mereka dibandingkan dengan Waria yang hanya hidup dan tinggal di daearah yang masih enggan untuk ikut dalam pemeriksaan Kesehatan, ini di akibatkan karena masih kurangnya Komunikasi, Informasi dan Edukasi terkait HIV yang dilakukan sehingga mereka selalu beranggapan bahwa jika terdeteksi penyakit, mereka akan merasa dikucilkan dengan yang lainnya.
Kegiatan deteksi dini HIV/AIDS merupakan salah satu kegiatan yang bertujuan untuk menekan angka penyebaran kasus, dalam hal ini pada kelompok marginal seperti waria. Peran dari Waria sangat di perlukan sebagai pemecahan masalah HIV/AIDS terhadap waria sehingga jika sudah ada Waria yang terdeteksi dengan virus tersebut agar bisa ditangani dan di obati dengan cepat.
Kemauan akses tes HIV dan layanan kesehatan ini menjadi tantangan tersendiri. Apakah memang kelompok transgendrr ini mau mengakses layanan kesehatan yang ada, apa karena layanan yang tidak dapat mereka akses dengan baik karena diskriminasi masyarakat lainnya. Peran serta kita bersama perlu dilakukan terhadap kaum marginal Waria, agar tidak ada lagi masyarakat yang mencemooh dan mengucilkan mereka di dalam kehidupan bermasyarakat.
Sekali lagi stop diskriminasi apapun terhadap seseorang! Diskriminasi dapat membunuh seseorang dengan cepat dibandingkan dengan penyakit yang di deritanya dan ajak mereka untuk berperan aktif terhadap kesehatan diri nya dan orang lain.
Komentar