Oleh: Nadilla Nusirwan, S.KM
(Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sriwijaya)
Inisiatif dan kebijakan yang diterapkan secara lokal maupun nasional untuk mencegah penyebaran virus Covid-19 yang memiliki angka kematian ±195.000 kematian dan terdampak pada 210 negara dengan penerapan karantina penuh dan parsial saat ini sedang diterapkan.
Kebijakan ini mempengaruhi pemenuhan kehidupan >5 milyar orang, dan diperkirakan menimbulkan dampak yag signifikan pada 1,6 milyar pekerja informal. PBB memperkirakan sekitar 25 juta pekerja formal akan dipecat dan dipotong upahnya, sedangakan pekerja informal menjadi kelompok yang terpukul, dimana 65% masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia merupakan bagian dari kelompok ini.
Fenomena sosial akibat melemahnya ekonomi masyarakat yang terjadi saat pandemi Covid-19 semakin krusial dan meresahkan mulai dari peningkatan angka perceraian, kekerasan, hingga tindakan kriminal.
Disisi lain, Indonesia mulai resah dengan adanya pengesahan UU Cipta Kerja yang dinilai dari sudut pandang masyarakat akan berdampak dan merugikan kepadanya. Hingga akhirnya, sejumlah aspirasi sedang disampaikan atas kekecewaan pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja oleh DPR-RI. Pertanyaannya apakah hal ini mengakibatkan angka positif baru Covid-19 yang melesat?
Kontroversi UU Cipta Kerja
Pengangguran di Indonesia sebelum pandemi Covid-19 berjumlah sebanyak 6,8 juta orang (Sumber: Sakernas BPS Februari 2020). Seiring dengan peningkatan angka kasus baru Covid-19, pekerja yang dirumakan tercatat 3,5 juta orang (Sumber: Kementrian Tenaga Kerja).
Sedangkan, rata-rata akan ada 2 juta angkatan kerja baru yang bertambah setia tahunnya (Sumber: Sakernas BPS 2010-2019). Untuk digaris bawahi bersama, hubungan sebab akibat yang manakah terlebih dahulu harus dijadikan prioritas untuk diselesaikan?
UU Cipta Kerja dengan metode Omnimbus Law memang benar menciptakan harmonisasi peraturan dalam satu produk sehingga efisiensi biaya legislasi, dan efisiensi penyusunan kebijakan. Namun tentunya tidak terlepas menghasilkan potensi kebingungan bagi publik dalam memahami konteks UU tersebut.
Potensi pengabaian asas pembentukan UU tentunya beresiko melahirkan produk kebijakan yang tidak sempurna atau cacat. Produk kebijakan yang cacat tentu tidak menyelesaikan permaslaahan dengan sempurna.
UU cipta kerja yang diharapkan berpeluang mengurangi jumlah pengangguran dan mengakomodasikan hak pencari kerja untuk bekerja di sektor formal memiliki beberapa point untuk dikritisi bersama diantaranya adalah:
1. Beresiko memperlemah pelindungan hak-hak pekerja dengan dihapusnya batasan waktu PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu), meningkatnya waktu lembur, berubahnya skema PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dan pesangon, penghapusan UMSK (Upah Minimum sektoral Kabupaten/Kota)
2. Kemudahan memperkerjakan TKA
3. Pergeseran keseimbangan lingkungan akibat kemudahan regulasi izin investasi seperti AMDAL
4. Dan lain-lain (Sumber: Mata Garuda Infografis)
Problematika Pekerja Muda
Mengutip kekhawatiran yang disampaikan oleh Ellena Ekarahendy merupakan Ketua Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif Untuk Demokrasi melalui laman Kompas.com pada 20 februari 2020, bahwa akan ada ketimpangan tujuan UU cipta kerja dengan tujuan bonus demografi yang sama-sama akan dirasakan 10-15 tahun mendatang.
Pembangunan ekonomi digital yang digencarkan oleh pemerintah dan diikuti dengan maraknya pengembangan start up yang merupakan bagian dari UMKM tampaknya bertolak belakang dengan point pengaturan upah di UU cipta kerja, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kondisi kerja yang rentan bagi pekerjanya.
Menurut Ella, "Disebutkan bahwa untuk UMKM, tidak harus mengikuti upah minimum, selama di atas garis kemiskinan. Ini problematik, karena garis kemiskinan itu tidak konsisten di beberapa institusi, kondisi pengupahan seperti itu berdampak merugikan para alumni baru (fresh graduate), dikarenakan akan sulit memiliki daya tawar untuk negosiasi upah yang sesuai dan layak”.
Ironisnya, apabila upah yang diterima pekerja muda dalam rentang yang kecil, maka akan menurunkan daya beli dan hal tersebut akan berdampak menurunkan konsumsi rumah tangga yang menopang pertumbuhan ekonomi dengan sumbangsih 54,38 persen atau 2,73 dari 5,02 persen pertumbuhan.
Pandemi dan Aksi
Sumber: Asep Fathulrahman/Antara/Republika.co.id
Analoginya adalah “Mati karena kelaparan, dan mati karena virus” adalah dua pilihan nyata yang harus dihadapi oleh masyarakat saat ini. Kekhawatiran akan keamaanan dan jaminan pekerjaan keesokan harinya adalah satu dari sekian alasan kontroversi. Momen mengetukan palu akan RUU Cipta Kerja saat pandemi dinilai merupakan sebuah keputusan tidak tepat momentumnya, karena telah memantik keramaian-keramaian oleh massa aksi diberbagai daerah.
Dilansir dari laman suara.com per 9 oktober 2020, di tengah aksi demonstrasi, kasus positif baru Indonesia bertambah nyaris 5.000 orang, atau tepatnya 4.850 orang baru dinyatakan positif, yang merupakan rekor tertinggi kasus baru saat ini, dari total akumulasi kasus positif 320.564 orang.
Kematian di Indonesia juga ikut melonjak, tercatat ada 108 orang baru meninggal, dari total 11.580 orang yang sudah meninggal di Indonesia sejak awal pandemi Covid-19. Di sisi lain ada 244.060 orang yang sudah dinyatakan sembuh, sehingga kini tersisa 64.924 orang yang masih berstatus positif di Indonesia.
Sumber: Idhad Zakaria/Antara/ dw.com
Titik permasalahannya adalah bukanlah larangan untuk melakukan aksi. Massa aksi tetap diperbolehkan menggunakan haknya untuk mengkritisi pemerintah dan produk hukumnya. Namun yang disayangkan adalah timbulnya reaksi buruk bagi pandemi akibat lalainya kepatuhan masyarakat untuk mencegah penularan covid-19 diantaranya adalah:
• Kerumunan massa dalam jarak dekat
• Durasi keramaian yang berlangsung lama
• Droplet dan aerosol yang dihasilkan saat melakukan teriakan dan seruan nyayian aksi
• Media pengeras suara yang digunakan secara bergantian tanpa pemberian disinfektan terlebih dahulu
• Hilangnya pengawasan penggunaan masker yang benar, serta
• Terbatasnya testing dan tracing saat ataupun sesudah demonstrasi berlangsung.
Mirisnya, nyaris tak ada lagi disiplin protokol kesehatan dan jaga jarak dalam aksi yang dilakukan demonstran, regulator, maupun aparat keamanan pada seluruh penjuru daerah di Indonesia. Resiko penularan virus tersebut rentan terjadi pada peserta, aparat, dan tenaga medis turut menangani pengunjuk rasa yang terluka.
Hal yang sudah marak terjadi adalah bertambahnya klaster besar demo, yang akan bermuara pada klaster keluarga, dan klaster pabrik/ tempat bekerja/ lingkungan sosial hingga aparat kepolisian.
Dilansir dari lingkar madiun.com menyebutkan bahwa usai demo penolakan UU Cipta Kerja pada 8 Oktober 2020 lalu,Polda Metro Jaya telah mengamankan 1.192 orang terduga pelaku kericuhan dan melakukan tes swab guna menelusuri kemungkinan Covid-19. Dari hasil tes menunjukkan 34 orang reaktif, 10 di antaranya kemudian dinyatakan positif covid.
"Dari 34 yang reaktif, terakhir ada 10 yang jelas positif Covid-19," jelas Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Polisi Yusri Yunus. Dikutip Tim Lingkar Madiun dari ANTARA, Yusri menerangkan jika jumlah kasus Covid-19 dari demo di Jakarta berpotensi akan bertambah. Sebab pada 13 Oktober 2020 polisi telah menjaring lagi 1377 perusuh demo jilid II. 47 di antaranya reaktif Covid-19.
Namun disisi lain terdapat perbedaan yang dikemukakan oleh Dicky Budiman (Epidemiolog Universitas Griffifth Australia) yang dilansir CNN Indonesia (9/10) bahwa “kerumunan di unjuk rasa tidak bisa jadi faktor tunggal karena sebelumnya sudah banyak, kasus positif covid-19 akan tetap meningkat sekalipun tak ada aksi turun kejalan”.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh pernyataan Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Riden Hatam Azis “Pemerintah harus fair. Jangan kami demo dibilang berpotensi menyebarkan Covid-19 dan ciptakan klaster, tapi di sisi lain, pabrik-pabrik dengan pegawai 6000 [di Balaraja] hingga 13.000 [di Bekasi] terus beroperasi, buruh bekerja berdekatan," ujarnya kepada bbc.com pada 9 oktober 2020.
Selaras dengan pernyataan tersebut, secara Epidemiologis, terdapat banyak faktor perancu atau confounding yang meningkatkan kasus baru Covid-19, dan kegiatan aksi hanya menjadi salah satu faktor tersebut. Sehingga, bukanlah menjadi alasan yang tepat untuk menjadikan aksi sebagi kambing hitam meroketnya kasus baru Covid-19. Sebagai catatan, satu hari sebelum terselenggaranya aksi tercatat 60.000 kasus baru dan 1.600 kaus kematian terkait Covid-19 dalam 2 minggu.
Peningkatan kasus Covid-19 juga disebabkan oleh multi faktor diantaranya: Penerapan new normal terlalu dini yang menimbulkan presepsi berbeda di kalangan masyarakat, Adaptasi kebiasaan baru yang memberikan kebijakan pelonggaran-pelonggran pada mobilitas masyarakat, rangkaian pilkada yang tetap dilaksanakan sehingga menimbulkan kerumunan massa, dan terfasilitasinya akses keluar masuk pemangku kepentingan untuk keluar masuk Indonesia.
Faktor krusial lainnya adalah fasilitas test swab di Indonesia juga masih sangat minim dan tidak merata. Seharusnya apabila Indonesia mengikuti peraturan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terlaksananya jumlah test swab sebanyak 54.000 orang perhari.
Prediksi Peningkatan Kasus Covid-19 Pasca Aksi
Pasca aksi, kerumunan massa akan menjadi individu di lingkungannya. Individu tersebut tanpa disadari akan bergabung di keramaian lainnya seperti transportasi publik, gedung perkantoran, gedung sekolah, gedung perguruan tinggi, tempat olahraga tertutup, tempat ibadah, pusat perbelanjaan, pabrik, dll.
Saat itu pula faktor VDJ (Ventilasi-Durasi-Jarak) yang terdiri dari ventilasi ruangan tertutup dengan sirkulasi udara buruk, durasi pertemuan lama, dan jarak dekat saat dikeramaian tercipta dan mengalami overlap akan mengakibatkan risiko penularan Covid-19 paling tinggi yang akan menimbulkan Super-Spreader Events.
Sumber Gambar: apnews.com
Super-Spreader Events atau dikenal dengan klaster super besar adalah terjadinya penularan masif dari satu aktivitas rutin di suatu tempat yang melanggar protokol VDJ dengan tingkat pelanggaran sangat tinggi.
Super-Spreader Events terjadi saat 1 orang penderita tanpa sadar mudah menulari orang lain dengan bertemu banyak orang dalam ruang sempit dan dalam waktu singkat, sehingga akan banyak orang yang tertular. Sekitar 10% orang yang terinfeksi bertanggung jawab atas 80% penularan Covid-19. Hasil penelitian menunjukkan 80% penderita Covid-19 adalah asymptomatic (tanpa gejala).
Transisi virus saat Super-Spread Events terjadi pada pemukaan benda yang tertempel droplet, terpaparnya droplet mikroskopik saat berkomunikasi langsung dengan orang lain, dan akibat penyebaran aerosol diruangan tertutup dalam waktu lama sebab aeroseol bertahan diudara beberapa jam bahkan saat orangnya meninggalkan ruangan. (Sumber: Pandemic Talks: CNBC Indonesia, DW, Time, WHO, The Guardian, VOX, CNN Indonesia, Detik).
Mari kita bayangkan bagaimana dampaknya apabila 1 orang penular tersebut merupakan asymptomatic dan kita atau anggota keluarga kita berada di tempat tersebut? Lagi- lagi melindungi diri sendiri dan keluarga adalah upaya preventif yang terbaik dilakukan di saat banyaknya mayarakat yang tak lagi memperdulikan ancaman covid-19 tersebut.
Informasi palsu atau hoax yang saat ini beredar menimbulkan paradigma yang salah dan telah menimbulkan bias kognitif di masyarakat kita. Tetap gunakan masker, mencuci tangan dengan sabun, dan hindari keramaian.
Upaya Aksi yang Aman:
Hak menyampaikan aspirasi merupakan media berdemokrasi yang dianut oleh negeri kita tercinta. Melakukan aksi dengan cara yang benar-benar aman dan sehat bukanlah suatu kemudahan. Namun, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk meminimalisir resiko penularan diantaranya adalah:
• Gunakan masker dan lakukan pergantian secara berkala setiap 4 jam sekali
• Gunakan pelindung mata untuk mengurangi transmisi virus melalui mata
• Upayakan menggunakan hand sanitizer secara berkala, sebisa mungkin tidak berada di posisi tengah massa aksi
• Kesadaran diri sendiri untuk tidak bersentuhan dengan orang lain dengan tetap menjaga jarak
• Aparat keamanan sebaiknya mengedepankan pendekatan persuasif agar tidak terjadi gesekan dengan massa aksi
• Aparat keamanan turut mengawasi penggunaan masker pada massa aksi
• Sesampainya dirumah segera mandi tanpa menyentuh kelurga dan barang lainnya
• Hindari berbicara tanpa menggunakan masker dengan penghuni rumah
• Jika memungkinkan lakukan isolasi mandiri
• dan apabila terdapat keluhan segera berkunjung ke fasilitas kesehatan.
Komentar