oleh

Pekerja Seks Perempuan (PSP): Kebutuhan Ekonomi, Stigma dan Resiko HIV

-Opini, dibaca 526 x

Opini mahasiswa: dr. Imtiyazi Nabila

(Mahasiswa Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya)
nabilaimtiyazi@yahoo.com
 
“Perempuan muda, dengan tubuh ditutupi selimut berwarna biru muda, terbaring di salah satu ruang rawat inap khusus penderita penyakit infeksi menular termasuk pasien HIV/AIDS di salah satu Rumah Sakit di Kota Palembang. Perempuan Bernama Bunga, berumur kurang lebih 35 tahun, dengan perawakan kurus, rambut dipotong pendek, dan kondisi kulit di tubuhnya yang kering, dengan bercak-bercak kehitam-hitaman, sebagian terlihat mengelupas. Hampir seminggu Bunga terbaring di ruang khusus pasien HIV/AIDS, akibat virus HIV yang mematikan. 
 
Bunga, sudah hampir 10 tahun bekerja sebagai pekerja seks, dan beberapa kali pindah lokalisasi di Kota Palembang. Sebelum beralih pindah ke kota, dia tinggal di desa bersama kedua orang tuanya, dan seorang adik perempuannya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Karena krisis ekonomi yang dialami keluarganya, bunga dengan keberanian diri dan iming-iming dari keluarganya bergegas pindah ke kota, berharap nasib nya berubah. Namun saat ini, tidak ada seorang keluarga pun yang peduli lagi dengan dirinya. Hampir sepuluh hari di rawat di Rumah Sakit, Bunga dipulangkan dari rumah sakit dan tepat seminggu hidup di kontrakannya di daerah Plaju, Bunga meninggal dunia”. (Catatan lapangan, Imtiyazi Nabila).
 
Pekerja seks perempuan (PSP) adalah seseorang yang menjual jasanya untuk melakukan hubungan seksual untuk uang. Perempuan yang bekerja sebagai PSP itu dipandang sebelah mata dan PSP dibebani stigma sosial “bukan perempuan baik-baik”, sehingga mereka kerap dipermalukan bila tertangkap aparat penegak ketertiban, lokalisasi PSP juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka bisa jadi berhadapan dengan pengadilan jika tertangkap dan juga membawa narkoba.
 
HIV/AIDS di kalangan Pekerja Seks Perempuan (PSP) yang kerap menjadi fenomena di kota-kota besar di Indonesia. Sebagai catatan, tidak semua PSP positif HIV, tetapi kelompok ini beresiko tertular atau menularkan HIV jika tidak menggunakan kondom sebagai pengaman dalam aktifitas seksual beresiko dan bergonta ganti pasangan. 
 
Kisah Bunga menunjukkan betapa HIV/AIDS telah menjadi momok bagi kita semua. Belum lagi penyebarannya yang mengalami peningkatan cukup luar biasa, baik secara jumlah maupun tingkat penyebarannya yang tidak hanya pada kalangan pelaku seksual yang berganti pasangan, tetapi juga sebagian perempuan rumah tangga yang tertular dari pasangannya, bahkan menularkan kepada anak-anaknya. Persoalan HIV/AIDS bukanlah hal yang baru di negeri ini, apalagi bagi kalangan pekerja seks. Peningkatkan jumlah penderita HIV merupakan masalah tersendiri, khususnya dalam mewaspadai penyebarannya.
 
Sebagai mahasiswa kesehatan masyarakat dan profesi saya sebagai dokter, kita perlu memahami beberapa faktor yang mendorong seseorang menjadi PSP. Pertama, keadaan ekonomi atau kondisi kemiskinan rumah tangga. Kedua, hukuman sosial bagi perempuan yang hilang keperawanan sebelum menikah atau stigma negatif status janda. Pandangan tentang seksualitas yang cenderung menekankan arti penting keperawanan sehingga tidak memberikan kesempatan bagi perempuan yang sudah tidak perawan kecuali masuk ke dalam peran yang diciptakan untuk mereka. Ketiga penculikan, penipuan untuk pencari kerja, paksaan dan kekerasan.
 
Namun, PSP yang merupakan kelompok resiko tinggi terkena Infeksi Menular Seksual (IMS) HIV dan AIDS, karena pada kelompok ini terbiasa melakukan aktivitas seksualnya dengan pasangan yang tidak tetap. Perilaku dan gaya hidup pada pelanggan PSP adalah tidak menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual, hubungan seks tanpa menggunakan kondom antara pekerja seks (PSP) dengan pelanggannya adalah merupakan cara penularan HIV dan AIDS terbesar kedua di Indonesia. Meskipun cenderung fluktuatif, data kasus HIV AIDS di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. 
 
Selama sebelas tahun terakhir jumlah kasus HIV di Indonesia mencapai puncaknya pada tahun 2019, yaitu sebanyak 50.282 kasus (Ditjen P2P (Sistem Informasi HIV/AIDS dan IMS (SIHA), Laporan Tahun 2019). Berdasarkan laporan SIHA tahun 2017, menurut kelompok berisiko, LSL (Lelaki Seks Lelaki) menempati peringkat ketiga untuk presentase HIV Positif dari yang melakukan tes HIV, yaitu 6,94% sedangkan Sero Discordant (salah satu pasangan memiliki HIV, sementara yang lain tidak), dan Pelanggan PS (Pekerja Seks) menempati peringkat pertama dan kedua, yaitu 84,91% dan 9,36% (Ditjen P2P (Sistem Informasi HIV/AIDS dan IMS (SIHA), Laporan Tahun 2017).
 
Impian atas kota, bukanlah sesuatu yang selalu menjanjikan. Dengan berbagai kemajuan teknologi dan informasi, menjadikan Kota Palembang ini semakin diminati oleh kaum urban dari berbagai kota dan kabupaten lain di sekitarnya. Proses perpindahan penduduk dari kota ke kota lainnya, menjadikan kota ini sebagai salah satu tempat yang representative dalam dunia kerja yang menjanjikan, hiburan dan pariwisata. 
 
Julukan kota metropolis mungkin memang cukup layak bagi Kota Palembang. Palembang yang tidak seluas Jakarta, namun perkembangannya sebagai pusat perdagangan dan industry menuntut Palembang untuk terus berbenah. Kondisi ini yang mendorong kelompok urban untuk mendatangi dan menjadikan Kota Palembang sebagai salah satu kota tujuan untuk mengais rejeki. Di balik gegap gempita Kota Palembang, dibarengi pula dengan imajinasi atas kota yang menjanjikan. Kota sebagai tempat meraup rupiah, serta mendapatkan harga diri sebagai orang kota yang dianggap lebih bermartabat serta bergengsi, menjadi salah satu tujuan. Kehidupan Kota Palembang yang dibayangkan oleh Bunga (35 Tahun), seperti penuturannya.
 
“Yo, kiroi hidup di Palembang nih lemak, kato wong tuo aku jugo kalo di Palembang gampang cari duit. Banyak baju-baju bagus, tinggal pilih b di pasar atau mall. Dak cak di dusun, palingan begawe cuma jadi petani di sawah.”
 
Pekerja seks mempunyai peluang yang cukup tinggi untuk menularkan dan tertular dari pelanggannya. Termasuk penularan HIV kepada pelanggan, kepada istrinya ataupun sebaliknya dari suami atau pasangan pekerja seks merupakan peluang yang cukup besar dalam menyumbangkan penularan HIV/AIDS. Proses penularan yang cukup luar biasa, bisa dibayangkan jika dalam semalam seorang PSP yang positif HIV melakukan hubungan seksual apalagi tanpa kondom dengan 4-5 orang, kemudian pasangannya juga menularkan kepada pasangan atau istrinya dirumah, dan sebaliknya. Angka yang cukup fantastis untuk menyumbangkan peningkatan jumlah penderita HIV/AIDS di negeri ini.
 
Sertifikat
Sertifikat kampung English
Piagam 3

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

0 comments